Mohon tunggu...
Ikwan Setiawan
Ikwan Setiawan Mohon Tunggu... Dosen - Kelahiran Lamongan, 26 Juni 1978. Saat ini aktif melakukan penelitian dan pendampingan seni budaya selain mengajar di Fakultas Ilmu Budaya Universitas Jember

Dosen dan Peneliti di Fakultas Ilmu Budaya Universitas Jember

Selanjutnya

Tutup

Sosbud

Masa Lalu dalam (Cerita) Masa Kini: Poskolonialisme dan Tantangan-tantangannya dalam Kapitalisme Global (2)

30 Oktober 2021   10:15 Diperbarui: 30 Oktober 2021   11:10 322
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Tantangan-tantangan Poskolonialisme 

a. Subjektivitas Hibrid dalam Mekanisme Neoliberal

Konsep-konsep teoretis di atas tentu harus diuji secara kritis karena wacana poskolonialitas yang diproduksi dalam praktik diskursif karya representasional maupun dari praktik kultural sehari-hari tidak bisa dilepaskan dari kondisi kontekstual. Apakah benar hibriditas masih bisa menjadi kekuatan strategis ketika masyarakat semakin terbiasa dengan arus budaya modern dari negara-negara maju yang menawarkan bermacam nilai-nilai ideal bagi kehidupan dalam globalisasi dan neoliberalisasi?  Apakah benar wacana hibriditas bisa menjadi bentuk resistensi terhadap kuasa dominan ketika industri budaya yang memiliki kepentingan komersil dan ideologis mengartikulasikan mereka dalam produk-produk naratif? Dua pertanyaan tersebut menuntut pemahaman lebih terhadap kondisi kontekstual berupa globalisasi dan penerapan ekonomi-politik dalam ranah kebijakan negara maupun industri budaya.

Kenyataan tak terelakkan yang berlangsung dalam kehidupan planet ini adalah globalisasi dalam segala bidang kehidupan. Negara-negara maju dan dominan dalam sektor ekonomi dengan sokongan perusahaan transnasional serta institusi finansial internasional secara lembut menjalankan neo-imperialisme sehingga banyak negara pascakolonial bergantung kepada mereka melalui kebijakan yang memberikan peluang sebesar-besarnya untuk ekonomi pasar dengan mengurangi secara signifikan peran negara (Steger, 2006: 38-40; Edwards, 2007: 262-263; Stallings, 2007: 214; Kien, 2004: 473-477; Gills, 2002: 164-171; Pieterse, 2004). Dampak lain yang semakin menguatnya globalisasi adalah "imperialisme kultural" di mana pola dan format industri budaya dari negara maju mendorong berkembang pesatnya "homogenisasi kultural"--utamanya komodifikasi dalam bentuk, model, dan representasi--di negara-negara pascakolonial (Banerjee, 2002: 519-520; Sparks, 2007: 145-147; Wise, 2008: 34-35).

Globalisasi melapangkan jalan bagi terciptanya kuasa neoliberalisme, baik di negara-negara maju maupun negara-negara pascakolonial. Rachel S. Turner (2008: 4-5) mengidentifikasi empat prinsip neoliberalisme. Pertama, keutamaan hukum pasar bebas yang menggaransi efisiensi dan efektifitas sumber ekonomi serta menjamin kebebasan individual. Campur tangan pemerintah diyakini akan membunuh potensi individu. Kedua, berkomitmen kepada penguatan Rechtsstaat, aturan negara hukum, sebagai instrumen regulasi yang mengatur relasi-relasi konfliktual di antara individu-individu otonom dalam masyarakat pasar di mana fungsi negara adalah untuk mengamankan kohesi dan stabilitas sosial melalui pelestarian kemerdekaan individual. Ketiga, minimalisasi peran dan regulasi negara. Keempat, kepemilikan pribadi yang memberi penghormatan mutlak terhadap hak intelektual ataupun kekayaan individual yang tidak bisa digunakan secara semena-mena untuk kepentingan kolektif.

Dari keempat prinsip tersebut, individualisme merupakan pengetahuan kunci yang menjadi landasan diskursif dan praksis dari neoliberalisme. Individualisme yang berkembang dalam neoliberalisme merupakan modifikasi dan transformasi dari konsep otonomi-individual yang dikembangkan dalam liberalisme. Menurut Stopford (2009: 1 & 30-31), konsep diri-otonom akan menjadikan individu-individu berkemampuan menilai, bersikap kritis, dan mempermasalahkan nilai-nilai komunitas yang mengikat mereka, sehingga mereka akan memiliki pilihan-pilihan otonom individual dalam menjalani hidup--apakah harus menggunakan sebagian budaya komunitas yang sesuai dengan situasi terkini atau menggunakan budaya baru yang lebih bisa mensejahterakan. Menguatnya kebebasan dan diri-otonom dalam masyarakat akan memberikan individu-individu peluang baru untuk menemukan dan memaknai subjektivitas mereka di tengah-tengah kuasa modernitas dengan menggunakan piluhan-pilihan yang bisa diterima nalar dan bisa mendukung pencapaian idealitas dalam kehidupan.

Selain itu, agar individu bisa mendapatkan keuntungan yang bersifat individual, ia harus mengembangkan diri-otonomnya sebagai diri-penuh-skill. Stopford (2009: 115-116). Kondisi penuh-skill bisa dicapai melalui tindakan-tindakan rasional, yakni pendidikan, sehingga seorang individu bisa menguasai kompetensi tertentu dan menjadikannya pribadi unggul. Dengan penguasaan tersebut, ia akan menjadi fokus bagi tindakan-tindakan penuh makna dan penuh perhatian yang sengaja diarahkan dan diproyeksikan bagi pencerahan kehidupan individualnya, bukan komunitasnya. Kalaupun komunitas merasakan akibat positif dari tindakan rasionalnya, itu merupakan akibat dari bertemunya tindakan-tindakan antarindividu dalam masyarakat yang diberikan kebebasan untuk melakukan pilihan-pilihan yang masuk akal dan berdaya-guna.

Adapun modifikasi yang dilakukan adalah individualisme yang lebih dilekatkan kepada mekanisme pasar sebagai rezim kebenaran. Dalam kapitalisme neoliberal, individu dituntut memiliki "speasialisasi" skill yang memudahkannya untuk melakukan "kompetisi" dengan individu-individu lain dalam sebuah mekanisme pasar yang menjamin "kebebasan" dan "efisiensi" untuk memperoleh keuntungan finansial yang menjadi kepemililikan pribadi. Untuk bisa mencapai kondisi tersebut, setiap individu dituntut untuk tidak terlalu terikat dengan aturan-aturan negara karena akan merusak kemampuan kompetisi dan menghalangi mereka masuk ke dalam budaya korporasi, khususnya yang dihadirkan oleh korporasi transnasional yang memang melampaui batas-batas geopolitis negara (Peter Dicken, 2007). 

Meskipun demikian, kehadiran negara tetap penting bagi keberlangsungan individualisme untuk memperkuat fondasi hukum dan kebijakan yang mempermudah dan menjamin kebebasan semua individu untuk berkompetisi ekonomi serta menjamin keberlangungan pasar bebas, baik dalam lingkup domestik/nasional maupun transnasional (Munck, 2005: 63; Clarke, 2005: 50-51; Lapavitsas, 2005; Dumnil & Lvy, 2005: 9; Palley, 2005: 20-24; Harvey, 2007: 64-87; England & Ward, 2007: 12; Howard & King, 2008: 219-220).

Formasi diskursif individualisme yang mengutamakan kebebasan, pendidikan, penghormatan terhadap hak-hak individual, skill-tinggi, dan kompetensi yang sesuai dengan mekanisme pasar dan budaya korporasi diyakini sebagai rezim kebenaran yang diwacanakan dan dipraktikkan secara ajeg di dalam banyak institusi pendidikan, perusahaan, maupun media, tidak hanya pada level transnasional tetapi juga nasional. Selain itu, sebagian besar negara pascakolonial juga sudah menerapkan neoliberalisme sebagai sistem ekonomi-politik mereka. Akibat dari kondisi ini adalah neoliberalisme menjadi ideologi dan sistem ekonomi-politik ideal yang diidealisasi bisa menjamin tercapainya kesejahteraan karena memungkinkan setiap individu bebas berkompeteisi dan berinvestasi dalam segala ranah kehidupan berbasis aturan pasar. 

Dalam realitas demikian, poskolonialitas kultural yang menjadi penanda kekuatan masyarakat pascakolonial berada dalam "pusaran neoliberalisme" di mana endapan terhadap ketradisionalan dan modernitas bisa diinkorporasi, dikomodifikasi, dan dipasarkan secara luas dalam produk-produk industri budaya dan industri wisata. Inkorporasi dan komodifikasi terhadap budaya tradisional merupakan salah satu karakteristik neoliberalisme yang membedakannya dengan liberalisme yang menolak budaya tradisional. Dalam praktik komodifikasi akan bisa dilihat representasi-representasi budaya poskolonial dalam idealisasi pemodal dan kreator yang memproduksi pengetahuan ideologis partikular.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
  8. 8
  9. 9
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun