Kapitu (ketujuh), 22 Desember - 2 Pebruari, berwatak  "wisa kentar ing maruta (bisa terbang tertiup angin). Kawolu (kedelapan), 3 Pebruari - 28 Pebruari, berkarakter  "anjrah jroning kayun" (sesuatu sedang merebak di dalam kehendak).Â
Kasanga, 1 Maret - 25 Maret, berwatak "wedare wacana mulya" (keluarnya ucapan/sabda mulia). Kasapuluh (kesepuluh), 26 Maret - 18 April, berwatak "gedong minep jroning kalbu" (gedung tertutup dalam hati/masa binatang hamil).Â
Destha (kesebelas), 19 April - 11 Mei, berkarakter "sotya sinarawedi (intan yang tampak seperti diasah. Sada (keduabelas), 12 Mei - 11 Juni "tirta sah saking sasana (air lenyap dari tempatnya".Â
Apabila kita perhatikan, yang sangat khas dari pranata mangsa adalah kemampuan para leluhur untuk mengidentifikasi jenis mangsa dan perlambang yang ada pada masing-masing (watak).Â
Menariknya, masing-masing watak tersebut menjelaskan kondisi meteorologis dan gejala alam yang menyertai masing-masing mangsa.Â
Bagaimana bisa para petani Jawa zaman dulu menemukan perlambang watak dalam pranata mangsa? Tentu saja dari pengalaman-pengalaman selama menggarap lahan pertanian dan dari kehidupan sehari-hari karena pengetahuan tradisional mereka memang lebih bersifat empirik—berdasarkan pengalaman. Berikut ini kodisi meteorologis dan gejala alam dari pranata mangsa.Â
Pada mangsa kasa, sinar matahari 76%, lengas udara 60,1%, curah hujan 67,2 mm, suhu udara 27,4 derajat Celcius, dengan bintang Sapigumarang. Gejala alam yang menyertainya adalah daun-daun berguguran, bintang beralih, sejenis belalang masuk ke dalam tanah untuk bertelur.Â
Pada masa ini para petani membakar damen yang tersisa di sawah dan mulai menanam palawija, seperti kedelai. Mangsa karo memiliki kondisi metereologis berupa kemarau (ketiga), curah hujan turun menjadi 32,2 mm, dengan bintang Tagih.
Tanah mulai retak (nela), pohon randu dan mangga mulai berbunga dan manusia mulai mengalami kondisi paceklik. Mangsa katelu ditandai dengan kemarau yang semakin menjadi, meski curah hujan naik 42,4 mm, dengan bintang Lumbung.Â
Sumur-sumur warga mulai mengering (nitik), angin kencang berdebu, dan bambu mulai tumbuh. Petani memanen palawija, setelah itu hanya bisa pasrah dan berdoa agar segera turun hujan.Â