Pertimbangan itu diperlukan agar tidak muncul selama pertunjukan berlangsung. Selain itu, memudahkan akses penonton juga harus dipikirkan. Karena tujuan pertunjukan publik ini adalah merintis usaha wisata minat khusus, tentu saja, publik harus bisa datang ke lokasi dengan mudah. Bahkan, untuk mereka yang ingin menikmati wisata ke tengah hutan, harus disediakan kendaraan bermotor, bisa roda empat ataupun roda dua.
Namun, tidak menjadi masalah karena tetap masuk ke wilayah dusun tersebut. Apalagi setelah kami berdiskusi dengan perwakilan warga, mereka juga tidak mempermasalahkan soal lokasi tersebut.Â
Mereka siap ambil bagian untuk menyukseskan gelaran budaya tersebut. Meskipun demikian, untuk lokasi pastinya, masih membutuhkan satu kali survei lagi.
Melalui jalan itulah setiap pagi warga Ungkalan ataupun warga luar melakukan perjalanan. Para peladang di tepi hutan juga memanfaatkan jalan setapak tersebut untuk mengusung hasil-hasil pertanian dengan sepeda motor.Â
Demikian pula dengan para pencari rumput. Karena sudah terbiasa, mereka tidak menemukan kesulitan berarti. Kebiasaan sehari-hari adalah guru terbaik bagi manusia-manusia yang belum sepenuhnya merasakan pembangunan nasional, sejak era kemerdekaan hingga saat ini.
Sesampai di Ungkalan, kami sempat berkeliling untuk menjumpai beberapa anggota Rimba Laut. Sepanjang perjalanan, saya melihat rumah-rumah tembok, jarang sekali rumah berbahan kayu murni.Â
Menurut keterangan Pak Mardi, hasil berladang di pinggir hutan menjadi andalan utama warga untuk membeli bahan bangunan dari wilayah Ambulu. Selain itu, sebagian kecil warga juga berprofesi sebagai pencari ikan dan lobster.
Jadi, meskipun berada di tengah hutan, Ungkalan bukanlah dusun terpencil dan terisolasi. Memang, warga belum tersentuh proyek pembangunan selain jembatan layang dan bangunan sekolah dasar negeri. Namun, mereka juga tidak mau ketinggalan zaman.