Lima bulan sudah aku dan Lusi menjalani percakapan sunyi. Hanya bercakap, tidak lebih. Mengenang kembali apa yang pernah ada tigabelas tahun lalu. Maka hampir setiap hari, sebelum tidur aku menyempatkan diri menyapa Lusi. Kukirimkan pesan mesra padanya dan tentu saja akan ada balasan yang lebih hebat mesranya. Ada pergulatan hebat dihatiku. Aku seperti mendapatkan kebahagiaan yang lengkap. Semakin hari semakin aku tak kuasa menahan diri untuk segera menemui Lusi di dunia nyata. Akhirnya kami memutuskan untuk bertemu sepulang kerja nanti.
Pagi hari sebelum berangkat kantor, ku bilang pada isteriku kalau aku pulang agak telat.
"Cuma reuni temen SMA kok Ma."
"Reuni kok hari kerja, mendadak lagi."
"Bukan reuni gede-gedean, cuma temen deket. Temen satu gank, cowok semua." kataku sambil mencium pipinya. Isteriku hanya diam seperti patung.
Pagi yang cerah, siang yang membahagiankan dan sore yang mendebarkan. Apa yang akan terjadi antara aku dan Lusi nanti, tak ada yang tau.
Menjelang pulang kantor aku merapikan diriku. Kusisir rambutku serapih mungkin. Kemudian mobilku melaju ketempat dimana kami berjanji untuk bertemu.
Memasuki pintu parkir, tiba-tiba ponselku berbunyi. Ku biarkan saja karena aku harus konsentrasi mencari tempat parkir. Tak lama kemudian ponsel itu kembali berbunyi. Dengan malas kuangkat.  Diujung telepon kudengar suara tangis si sulung dengan kalimat yang kurang jelas.
"Halo, kenapa Abang?"
"Mama pingsan Pa."
"Hah.. memang kenapa?"