Kemaren sengaja kupacu motor yang aku naiki dengan kencang, aku berharap tiba-tiba ada yang menabrakku, lalu meninggal.Â
Kadang-kadang juga terlintas dipikiran, ah kenapa tidak aku saja yang terkena corona itu, sekarat lalu meninggal.Â
Atau mengurung diri dikamar dan menenggak sebotol racun lalu meninggal.Â
Tidak, tidak matinya kurang elegan.Â
Bagaimana dengan pilihan gantung diri, hei apa kau punya cukup tali?Â
Ah....matinya terlalu kuno.
Jangan, loncat tebing saja, kau hanya perlu pura-pura berwisata sambil melihat-lihat pemandangan sekitar, lalu gelincirkan kakimu dan bawa seluruh tubuhmu mengikuti jurang yang curam, dan meninggal di lembah bersama kenangan.Â
Ah andai saja,
Pikiran-pikiran lemah mental, merasuki.Â
Ahh...andai saja manusia bisa menjemput ajalnya sendiri.Â
Hanya saja sampai hari ini aku masih bernyawa.
Meskipun sebelum tidur malam tadi aku berharap tidak pernah bangun lagi.
Hidup dalam kepatahan membuat semuanya berantakan.Â
Segala keinginan-keinginan mati duluan,Â
semangat meninggalkan dunia lebih besar dari pada bertahan bersama seluruh kenangan dan kepatahan.
O dunia, dunia, dunia,
dunia dan segala isinya yang luar biasa.
Apakah jika aku meninggal, segala sakit akan hilang, apakah segala duka akan habis, apakah segala orang yang meninggal tidak akan merasakan patah hati.
Ingin pergi dari atas dunia ini,
tapi tanpa memilih ajal sendiri, sebab terlalu enggan mendahului Kehendak Tuhan.
Andai saja, manusia bisa memilih kapan harus mati.
Andai saja boleh menjemput ajal sendiri.
Hanya saja sampai hari ini aku masih bernyawa.Â
Masih hidup tapi terasa mati.
Tuhan.Â
Hanya saja.Â
Aku,....
Â
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana
Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI