Sesuatu yang sangat lucu, di mana rakyat yang menjadi komponen utama berdirinya suatu negara harus diancam menggunakan tugas utama negara yakni mensejahterakan rakyat.
Bukankah kesejahteraan rakyat adalah tujuan negara? mengapa negara harus mempertontonkan ketidakmampuan mereka dalam mencapai tujuan berdirinya negara di hadapan rakyat?
Kembali ke persoalan pengambilalihan tanah adat, di Pulau Timor (Kabupaten Timor Tengah Selatan) sendiri, peristiwa pengambilalihan hutan adat masyarakat di Besipae masih menjadi kemelut panjang, di mana pemerintah menganggap bahwa hutan adat merupakan asset milik pemerintah provinsi NTT sedangkan menurut aturan adat yang berlaku di kalangan masyarakat adat secara umum di NTT, hutan, lahan, ataupun tanah adat merupakan asset yang pantang atau pamali untuk diperjual belikan, karena merupakan “tanah air” bagi masyarakat adat. Kalau pun ingin dimanfaatkan maka hutan, lahan atau tanah tersebut hanya bisa disewakan oleh ahli waris kepada pemerintah guna kepentingan bersama.
Alasan mengapa ada keterlambatan pembangunan di daerah timur bukan dikarenakan oleh masyarakat adat yang terlalu “comel” dalam mempertahankan tanah adatnya tetapi karena ketidakmampuan pemerintah dalam menerjemahkan aturan adat di dalam pembangunan infrastruktur.
Berbeda dengan pembangunan di daerah perkotaan yang cenderung mudah, pembangunan di daerah pedesaan cukup rumit karena persoalan lahan bukan hanya tentang ekonomi tetapi tentang simbol “tanah air”, harga diri, kepercayaan, dan tanggung jawab moril.
1. Simbol Tanah Air
Jauh sebelum kemerdekaan, tanah air bagi masyarakat hanyalah sekitar kampong halamannya. Tempat di mana dia dilahirkan, dibesarkan, tempat di mana orang-orang yang dia kasihi tinggal.
Tempat itu pula yang mengajarkannya tentang bagaimana hidup berdampingan dengan alam. Dalam setiap budaya tradisional prinsip umum tentang alam ialah tentang memberi dan menerima.
Alam akan menyediakan segala kebutuhan manusia apabila manusia mau menjaga kelestarian alam. Misalnya tradisi suku Kajang yang sangat menghargai hutan mereka, sesuatu yang tabu bagi mereka untuk menebang pohon, tetapi jika terpaksa maka mereka akan menanam pohon yang baru sebagai pengganti pohon yang telah ditebang. Contoh rasa nasionalisme sederhana yang ditampilkan oleh suku Kajang.
Di NTT sendiri, penghormatan terhadap “tanah air” juga dilakukan oleh suku Kolana di kabupaten Alor, pantang bagi mereka menjual tanah peninggalan leluhur, walaupun ditawari sejumlah uang oleh pemerintah karena niat awal pemerintah adalah untuk membeli sebidang tanah yang diperuntukan bagi pembangunan sekolah menengah pertama di salah satu kampung di wilayah kecamatan Pureman, Alor (suku Kolana).
Oleh ahli waris, niat pembelian tanah tersebut ditolak karena kampung halaman tidak bisa diperjual belikan dengan alasan apa pun, tetapi sebagai bentuk ketaatan terhadap pemerintah (negara), tanah tersebut disewakan untuk pembangunan sekolah TANPA memungut sepeser pun uang dari pemerintah.
2. Harga Diri
Tanah bukan hanya sekadar asset secara “ekonomi” atau modal utama dalam kebutuhan primer masyarakat adat atau desa. Tanah merupakan sebuah ukuran kekuasaan atau hierarki dalam suatu kelompok adat. Semakin luas tanah yang dimiliki atau yang diwarisi maka makin terpandang kedudukan seseorang.