Mohon tunggu...
Defanny Fitri Anastasia
Defanny Fitri Anastasia Mohon Tunggu... Penegak Hukum - Mahasiswi Hukum

FH Atmajaya Jakarta. Kritik Politik, dan Hukum.

Selanjutnya

Tutup

Hukum

Profesi Hakim di Mata Masyarakat

14 Juni 2019   19:28 Diperbarui: 14 Juni 2019   19:47 675
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Hakim adalah salah satu profesi yang mulia. Setiap profesi memiliki pengaturan kode etik yang menjadi batasan perilakunya dalam menjalankan profesinya. Pengaturan tentang adanya Kode Etik Hakim hadir di dalam Peraturan Bersama Ketua Mahkamah Agung R.I dan Ketua Komisi Yudisial R.I No. 02/PB/MA/IX/2002 - 02/PB./KY/09/2012 tentang Panduan Penegakan Kode Etik dan Pedoman Perilaku Hakim yang ditanda tangani oleh Ketua Mahkamah Agung dan Komisi Yudisial terdapat sepuluh pedoman perilaku hakim yaitu: (1) Berperilaku Adil, (2) Berperilaku Jujur, (3) Berperilaku Arif dan Bijaksana, (4) Bersikap Mandiri, (5) Berintegritas Tinggi, (6) Bertanggung Jawab, (7) Menjunjung Tinggi Harga Diri, (8) Berdisiplin Tinggi, (9) Berperilaku Rendah Hati, (10) Bersikap Profesional.

Yang menjadi sebuah pertanyaan adalah apakah kode etik tersebut cukup untuk meyakinkan masyarakat akan independensi, wewenang, maupun wibawa lembaga kehakiman?

Penulis melakukan penelitian kecil, mengambil 50 responden dari mahasiswa Fakultas Hukum Atmajaya Jakarta untuk menjawab pertanyaan "apakah masyarakat percaya dengan independensi hakim?", "apakah dengan adanya kode etik cukup membuat masyarakat lebih percaya pada hakim?"

Dari hasil yang penulis kumpulkan 70% menyatakan bahwa Hakim adalah profesi yang kurang dipercaya. Hakim nyatanya masih belum dapat dipercaya oleh masyarakat. Apakah kode etik membantu idealisme hakim ?  84% setuju. Tetapi dalam pelaksanaannya 66% mengatakan bahwa hakim tidak menjalankan kode etik itu dengan baik. Citra hakim din68% masih buruk. 

Sebenarnya kepercayaan masyarakat itu berasal dari citra hakim, jika citra hakim itu baik maka masyarakat akan percaya sebaliknya jika citra buruk maka masyarakat tidak akan percaya.

Lantas, mengapa Hakim masih kurang dipercaya oleh masyarakat?

Dari penelitian yang penulis peroleh, citra hakim dimasyarakat masih jelek. Masyarakat masih percaya bahwa hakim masih tidak menjalankan kode etiknya. Hal inipun sangat didukung oleh Penelitian ICW sendiri bahwa Hakim adalah penegak hukum paling korup diantara penegak hukum lainnya.

Sebenarnya jika membahas tentang kode etik, bukan hanya korupsi saja yang dibahas tapi masih banyak permasalahan lain seperti hakim tidur saat sidang, hakim salah ketik, dsb. Namun saat bertanya ke responden, mengapa mereka tidak percaya dengan hakim? Alasan yang muncul adalah karena hakim masih sangat mudah disuap. 

Mengapa hakim masih mudah untuk disuap?

Mental yang lemah. Hakim adalah manusia biasa, yang masih punya tanggungan keluarga. Gaji Hakim yang makin meningkat tiap periode tidak membuat hakim puas. Kedua adalah sifat lahiriah manusia yaitu nafsu. Budaya materialistis dan gaya hidup hedonisme masih kental. Salah satu solusi yang bisa didapat dari permasalahan tersebut adalah suatu Revolusi Mental.

Bagaimana untuk membangun mental yang dewasa? Jawabannya adalah dengan cara belajar berkepribadian yaitu pendidikan karakter. Program wajib belajar tidak cukup untuk menyentuh batin manusia, hendaknya pemerintah membuat suatu program pendidikan karakter bagi para ASN (Aparatur Sipil Negara).

Lantas apa yang menyebabkan Citra Hakim itu buruk?

Selain karena tidak dilaksanakan kode etik oleh hakim itu sendiri, alasan lainnya adalah karena KY sebagai lembaga penegak kode etik hakim (eksternal) sering kali bukannya preventif tapi represif. Jangan bersifat terima laporan pelanggaran tapi juga aktif memprotek lembaga kehakiman. Misalnya apabila ada suatu institusi atau kelompok orang yang merendahkan Hakim atau Lembaga Kehakiman, KY harusnya segera menindaklanjuti hal tersebut.

Hal tersebut ditujukan agar wibawa Hakim maupun Lembaga Kehakiman tetap terjaga. Jangan sampai KY malah ikut untuk merendahkan kehormatan serta martabat Hakim dalam publikasi media massa (Pasal 20 A ayat 2 UU KY) yang membuat citra Hakim atau lembaga kehakiman jelek. KY harus melindungi lembaga kehakiman atau hakim itu sendiri. (Pasal 20 ayat 1 huruf e UU KY).

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Hukum Selengkapnya
Lihat Hukum Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun