Mohon tunggu...
Defa Ayu Triana
Defa Ayu Triana Mohon Tunggu... Lainnya - -

email : devaayu93@gmail.com

Selanjutnya

Tutup

Nature

Pandangan Sosiologis: Urbanisasi Pemicu Slum Area di Perkotaan

1 Mei 2020   11:00 Diperbarui: 4 Mei 2020   19:27 7242
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
kesenjangan ruang di perkotaan amauluddin.blogspot.com

Urbanisasi menjadi fenomena sosial yang kompleks dan memiliki berbagai konsekuensi serta penyebab. Migrasi pedesaan menjadi pendorong utama dalam urbanisasi secara histori maupun sekarang. Populasi manusia yang meningkat dari hari ke hari juga akan menjadi bagian dari fenomena urbanisasi. Sebagian besar wilayah perkotaan dapat ditandai dengan adanya kesenjangan, ketimpangan, dan ketidaksetaraan. Kemudian dimaknai sebagai efek paling nyata dalam urbanisasi terutama di negara berkembang. Kondisi ruang di perkotaan dengan gedung-gedung tinggi pencakar langit berdiri mewah sedangkan pinggiran ruang kumuh dibiarkan saja. Dalam konteks ini menunjukkan dari populasi yang ber tempat tinggal di daerah yang kumuh (slum area) menjadi bukti fisik atas tidak terkendalinya urbanisasi dengan baik.

PBB mendefinisikan daerah yang kumuh (slum area) sebagai daerah perkotaan dimana banyak rumah tangga kekurangan satu atau lebih berupa perumahan permanen yang melindungi dari kondisi iklim yang ekstrim, ruang hidup yang cukup dengan rincian tidak lebih dari tiga orang dalam 1 ruang yang sama, kemudahan akses air bersih yang cukup dan terjangkau, akses sanitasi toilet pribadi atau umum, dan keamanan untuk mencegah pengusiran.

Wilayah perkotaan menjadi alasan alternatif yang menarik untuk mencari pekerjaan. Adanya perbedaan pertumbuhan dan pembangunan antara fasilitas di desa dan kota berakibat pada urbanisasi yang berlebih di Indonesia salah satunya adalah meningkatnya kemiskianan disertai dengan munculnya slum area (pemukiman kumuh). Maka kemudian urbanisasi sebagai aspek yang dilihat sebagai faktor penentu perkembangan sebuah kota dengan baik dalam segi sosial maupun fisik (Harahap, 2013).

Faktor pertumbuhan penduduk urbanisasi menjadi indikator munculnya slum area, kepadatan penduduk yang bersumber dari masyarakat pendatang yang menetap dan bekerja di lokasi pemukiman kumuh. Di Indonesia para penghuni slum area banyak bekerja pada sektor swasta, pekerja rendahan, dan sektor informal. 

Maka semakin rendah atau buruk pekerjaan masyarakat semakin tinggi pula kepadatan penduduk di daerah slum area. Sebaliknya dalam bidang pendidikan memiliki andil yaitu tingkat pendidikan rendah. Semakin rendah tingkat pendidikan masyarakat menyebabkan semakin tingginya tingkat kepadatan di daerah slum area.

Munculnya pemukiman kumuh disebabkan karena kondisi yang tidak teratur dan kondisi sarana prasarana yang tidak memadai. Jumlah penduduk yang meningkat tanpa di iringi dengan ekonomi yang sejahtera menyebabkan seseorang terpaksa tinggal seadanya dan tidak memperdulikan standard hunian yang baik.

Sikap dan peran pemerintah

Munculnya kawasan padat yang kumuh di wilayah perkotaan mencerminkan ketidakmampuan pemerintah dalam pengelolaan pemerintahannya. Munculnya pemukiman kumuh menjadi indikator bahwasannya terdapat kebijakan yang salah, entah itu korupsi, pemerintahan yang buruk, tidak tepatnya regulasi, dan kurangnya keinginan politik dari pemerintah untuk memperhatikan wilayah kumuh. Sikap dan pemerintah sangat dibutuhkan bagi penghuni slum area untuk memberikan kejelasan nasibnya (Andini, 2013). 

Kondisi perkotaan yang kian memburuk dengan adanya slum area berakibat pula munculnya berbagai permasalahan baru seperti kemiskinan dan kriminalitas. Pemerintah yang kurang memperhatikan pembangunan kota dan lebih menekankan pada perkembangan land use secara intensif dan ekstensif serta diikuti oleh pihak swasta yang kemudian berdampak pada perubahan struktur tata ruang di perkotaan.

Menurut teori The Production Of Space milik Henry Lefebvre analisa ruang sebagai produksi sosial, representasi ruang adalah pola hubungan produksi dan tatanan yang bertujuan dengan pemaksaan atas pemakaian suatu ruang (ruang yang dikonsepsikan). Slum area menjadi kawasan yang di representasikan sebagai tempat yang merujuk pada ruang yang dikonsepsikan sebagai tempat tinggal masyarakat urban yang bertumpu pada berbagai pekerjaan informal untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari di perkotaan.

Robert K. Merton yang menjelaskan bahwa fungsi merupakan konsekuensi yang dapat diamati dan dibuat dengan tujuan penyesuaian dari sistem. Sedangkan disfungsi sebagai indikator melihat konsekuensi yang merusak dan berakibat negatif pada sistem. kosekuensi-konsekuensi ini dapat berupa hal yang positif (Fungsi manifest) dan yang negatif  (fungsi laten). 

Kebijakan pemerintah yang fungsional, pro penghuni slum area serta penerimaan atas kebijakan pemerintah tentang regulasi pengalih fungsian ruang kumuh menjadi tempat yang bersih dapat menciptakan keseimbangan dalam masyarakat. Mayarakat mendapatkan fungsi positif yaitu jaminan kehidupan yang layak dan sarana prasarana yang memadai. 

Namun jika ditinjau sisi negatifnya pemerintah yang kurang memperhatiakan slum area dapat menimbulkan berbagai masalah baru yang muncul seperti kemiskinan yang berakibat pada munculnya kriminalitas dan kurang sadarnya masyarakat di slum area dapat memberikan citra buruk kepada pembanguanan fisik pemerintah di perkotaan.

Lalu seperti apa solusi sosiologisnya?

Menempatkan masyarakat sebagai subyek yang merencanakan dan merumuskan solusi serta strategi untuk mengatasi kekumuhan dengan difasilitasi oleh perencana. Sehingga dalam hal pelaksanaan dan perbaikan lingkungan dengan melibatkan aktif masyarakat daerah slum area. Berbagai kegiatan seperti kerja bakti, sejenak memungut, dan pertemuan rutin antar warga. Apabila program ini dilaksanakan melalaui kekuatan komunitas yang mempengaruhi perilaku anggotanya yaitu masyarakat sebagai anggota komunitas harus ikut kerja bakti dalam lingkungan rumahnya. 

Kegiatan gotong royong, kerja bakti, dan pertemuan rutin sebagai bentuk awal mengkoordinir masyarakat agar memiliki perasaan yang sama sebagai modal perencanaan partisipatif. Setelah partisipasi aktif masyarakat terlihat baik, pihak perencana memberikan cara dan kiat agar daerah slum area menjadi tempat yang berwawasan lingkungan dan tertata. 

Apabila masyarakat dan pemerintah saling mendukung akan memberikan dampak psikologis yang baik terutama kesadaran masyarakat yang tinggal di slum area yang termotivasi untuk melakukan benah diri dan lingkungannya. Seharusnya pemerintah dapat memberikan regulasi yang tidak menguntungkan satu pihak, disisi lain pemerintah juga perlu melakukan pendekatan melalui program-program kesejahteraan untuk menarik simpati masyarakat dan memberi kesempatan kepada masyarakat di slum area menikmati prasarana layaknya orang di perkotaan.

Semakin banyak populasi manusia yang akan hidup di ruang kota atau pinggiran kota tidak dibarengi dengan kebijakan dan perencanaan kota yang tepat urbanisasi akan mengancam proses perubahan iklim, deforestasi, dan krisis iklim. Kemudian  hal ini menjadi tantangan bagi pembuat kebijakan yaitu bagaimana mengintegrasikan perencanaan kota ke dalam kebijakan sosial dan lingkungan. Sehingga diharapkan kota dapat memberikan tempat yang layak dan kehidupan yang berkelanjutan secara ekologis.

Kutipan sumber:

Andini, I. (2013). Sikap dan Peran Pemerintah Kota Surabaya Terhadap Perbaikan Daerah Kumuh di Kelurahan Tanah Kalikedinding Kota Surabaya. Kebijakan Dan Manajemen Publik, 1(1), 36-47.

Harahap, F. R. (2013). Dampak urbanisasi bagi perkembangan kota di Indonesia. Society, 1(1), 35-45.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Nature Selengkapnya
Lihat Nature Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun