Saya adalah seorang ibu muda beranak satu, atau bahasa kerennya mahmud asad (mamah muda anak baru satu). Ada banyak drama yang menyelimuti kehidupan ibu-ibu muda termasuk saya. Menjalankan peran sebagai ibu adalah hal baru, minim pengalaman bahkan tidak punya pengalaman sama sekali. Dari segi usia saya juga tergolong muda yaitu dua puluh tiga tahun. Â
Pemula adalah julukan yang pas untuk rumah tangga kami, pemula dari segi finansial alias pas-pasan, dari segi pengalaman, terlebih menjadi orang tua. Pertama kali anak kami lahir rasanya sangat bahagia, bayi yang sehat dengan wajah yang lucu menggemaskan. Sungguh anugrah yang tak trernilai.Â
Ditengah-tengah kebahagiaan kami, aku ingat saat itu dokter berkunjung ke ruang rawat inap kami, dia berkata dengan nada bercanda "siap begadang ya pak buk, hahaha." Suami pun menimpali "siap bu dokter." Semuanya terasa sempurna. Ditambah jawaban suami yang mantap dan meyakinkan. Hariku pasti akan menyenangkan, pikirku. Setelah tiga hari di rumah sakit, kamipun pulang ke rumah bersama bayi setelah perawat membekaliku cara merawat bayi. Tak sabar ingin segera sampai rumah bersama bayi gemas.
Beberapa belas jam kami lalui kehidupan bersama bayi kecil, benarlah gurauan dokter anak di rumah sakit waktu itu. Si bayi terbangun ditengah malam dengan tangis yang masih tetsendat-sendat. rasa-rasanya dia minta asi. Lalu aku memberinya asi, ternyata tak kunjung reda. Ku gendonglah ia sambil berdiri. Ketenangan mulai  nampak diwajahnya, sangat damai. Tak lama berselang, bayiku pun tidur. barulah aku menaruhnya.
Hari demi hari tidur si bayi makin tidak teratur, bahkan jarang tidur dan rewel tak kunjung selesai. Seperti biasa, aku harus menggendongnya sambil berdiri ditimang. Bunga-bunga kebahagiaan yang ada dianganku mulau berguguran menjadi keruwetan yang tak bisa aku uraikan. Si anak rewel, badan ku juga pegal-pegal. Walau  bayi baru lahir hanya beberapa kilo saja, jika digendong untuk waktu yang lama pasti otot akan kram juga. Ketika menggendong sih tak terasa, baru setelah bayi ditaruh rasanya... sengkring-sengkring. Hihihi lumayan membuat lemas tubuh ibuk yang memang lemah. Rasanya tangan seperti terkulai lemas tak berdaya. Oh iya, sekedar info kalau berat saya hanya empat puluh tiga kilogram.
Bayangan awal saya ketika mendengar jawaban suami pada dokter adalah, "dia pasti bakal bantu kalo aku kerepotan. Secara dia seneng banget punua anak. Yah minimal buat pijat-pijat lah ya." Tapi kenyataan dan harapan memang tak selalu sama ya ibu ibu. Saat badan pegal-pegal ngurus rumah dan bayi seharian, suami datang dengan muka sepet dan badan capek pulang dari kantor. Bagaimana menurut anda, haruskah saya mengatakan saya minta pijat?. Bisa-bisa jadi perang dunia ketiga. Akhirnya saya biarkan saja otot pegal, capek, bengkak, entah apa lagi. Istirahat mungkin bisa mengurangi. Tapi mau istirahat bagaimana, si bayi bangun pagi siang sore malam. Hahaha... balada ibu amatir.
Lama kelamaan suami mulai mengerti, alhamdulillah dia mau mijit istri keaayangannya ini. Entah kenapa dipijatpun juga tidak menghilangkan rasa pegal, mungkin karena mijatnya hanya sekilas kali ya. Mau bagaimana lagi, suamiku juga sama-sama capek. Jauh dari kerabat, jadi tidak bisa minta tolong atau sekedar titip anak. Bagi keluarga baru yg hidup hanya berdua di kota sibuk seperti ini tidak bisa mengandalkan siapa-siapa selain diri sendiri. Melakukan apa-apa kita sendiri, kena pegal-pegal juga kita tanggung sendiri. Akibatnya pegal yang menimpa tubuh saya berdampak pada aktitas sehari-hari.
 Memasak, mencuci, setrika, bersih-bersih, dan gendong anak rasanya menjadi semakin melelahkan. Tidak berselera melakukan pekerjaan-pekerjaan itu, inginnya hanya istirahat yang nyatanya juga tak bisa. Akhirnya tetap melaksanakan kewajiban sebagaimana mestinya, namun tak dapat dipungkiri jika hasil tak bisa optimal. Masakan tersaji tak secepat biasanya, rumah tak sebersih biasanya, anak juga tak seceria biasanya. Pikiran ikut sumpek melihat rumah berantakan.
Pegal ini memang sangat mengganggu, bayangkan jika tangan saya sedang lunglai memegang sendok saja bisa jatuh. Jika pundak sedang pegal, dibuat santai juga tak enak. Semakin terasa sakitnya. Hingga pada suatu ketika, saya dan suami memutuskan memanggil tukang pijat. Karena kita sama-sama lelah dan pegal. Pijatan demi pijatan membuat badanku rileks, Aku dipijat dari kaki sampai kepala, dengan tekanan yang mantap.Â
Tak terasa aku sudah selesai di pijat, rasanya lelah tapi rileks. Saya sampai ngantuk dibuatnya. Giliran suami saya yang dipijat, ketika saya mau beristirahat tiba-tiba ada suara yang sangat familiar ditelinga saya. Suara yang mengingatkan saya pada pada kewajiban saya. Yah... itu suara tangisan bayi saya. Astaga... Bisa ditebak nggak ya kira-kira apa yang akan saya lakukan?. Sudah pasti menggendong bayi tersayang. Nggak jadi deh merilekskan diri pasca dipijat hihihi. Apa boleh buat, bagi para ibu pasti akan menomor satukan anak. Aku gendong dan susui dia seperti biasa, aku menyangga kepalanya dengan lenganku seperti biasa. Tak peduli jika bibit-bibit pegal akan terpicu.
Si kecil semakin hari tumbuh semakin besar, berat badan meningkat dengan baik. Sementara mama nya tak ada perkembangan. Ditambah anak saya yang memiliki ikatan kuat dengan saya. Kemanapun saya pergi dia pasti ikut. Kalau sekarang sih sudah bisa berjalan. Nah sebelum bisa berjalan, kemanapun kita pergi dia pastinya digendpng. Gendongnya juga pilih-pilih. Tidak mau selain ibunya. Kebayang kan gimana rasanya pundak setelah menggendong anak seberat dua belas kilo, sedang yang menggendong hanya empat puluh dua kilo saja.
Jadi teringat dengan peristiwa kemarin, saat menghadiri kondangan teman di surabaya. Meski sudah bisa berjalan, si anak harus saya gendong agar bisa terkendali. Antri salamannya itu lho, masyaalloh panjangnya. Setelah itu aku bertemu teman-teman kampus, seperti biasa dia takut dengan orang baru. Akhirnya dia nemplok emak nya terus. Hem.. Lumayan juga yah. Pulang dari kondangan, si anak aku taruh di kasur. Tiba-tiba tangan saya jadi lemas, lengan atas membengkak seperti terasa memar. Berbagai upaya saya lakukan, seperti menggerak-gerakkan tangan dan pijat. Tapi tak kunjung kempes. Bagaimana ini, pikirku. Kalau seperti ini pasti tidak bisa beraktivitas.
Aku jadi teringat, dahulu waktu kecil bapak sering memakai balsem. Diantata balsem yang kami punya ada satu merek yang sangat populer, yakni balsem geliga. Hangat balsem geliga lebih mantap dibanding balsem yang lain. Aku berpikir, kenapa aku tidak mencoba geliga saja seperti kebiasaan bapak? Akhirnya suami membelikan geliga krim, ternyata tampilannya bagus dan praktis. Tidak sabar memakai cream warisan keluarga ini. Sebelum tidur saya oleskan geliga krim dibagian yang bengkak. Sembari menunggu geliga krim bereaksi, saya tertidur bersama anak saya.Â
Tak disangka tidur ku sangat pulas. Pagi hari bangun dengan suasana gembira nan segar. Bahkan aku lupa kalau sebelumnya mengalami pegal-pegal. Aroma geliga krim masih tercium di lengan, barulah aku teringat bahwa saya sudah bebas pegal. Alhamdulillah, ku ucapkan banyak syukur. Saya bisa menggendong anak saya lagi, bisa mengatur rumah dengan baik, saya jadi lebih berseri-seri mengerjKan segala kewajiban saya di rumah.Â
Sungguh nikmat tiada tara memiliki keluarga yang harmonis. Dimana setiap anggota keluarganya merasa nyaman dan bahagia di dalam rumah. Bagi ibu hal kecil ini adalah sebuah prestasi yang membanggakan. Mewujudkan keluarga harmonis bersama geliga krim. Sekarang tak takut lagi gendong-gendong anak. Pegal? Pakai geliga krim aja. Tak perlu merepotkan suami, cukup dioles sendiri, pegal-pegal langsung pergi.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H