"Mak, awak dapat beasiswa lanjut sekolah ke Belanda," kataku pada Emak.
"Ko ambillah. Tak payah ko tanya. Emak dukung, karena Mak tak mungkin sekolahkan ko tinggi-tinggi," jawab Emak, tak menjauhkan pandangannya dari secarik kain yang sedang dijahitnya.
"Tapi lama awak pigi, Mak. Dua taon S2 tu, tambah kontrak kerja langsung sesudahnya, tiga taon pertama tak boleh awak pulang ke sini," kataku lagi.
"Tak usah ko kwatir. Aku ni, biar tua, tau jaga diri. Lagi ada si Dian yang bantu-bantu."
Aku hanya diam mendengar tanggapan Emak. Setelah tiga tahun lebih aku meninggalkannya untuk kuliah di ibukota, belum genap setengah tahun, aku harus pergi lagi, dan kali ini ke negara yang berbeda. Betul ada si Dian, anak gadis tetangga yang membantu pekerjaan rumah, tapi meninggalkan Emak yang sudah tua untuk lima tahun, tanpa pendamping pula, bukanlah perkara mudah.
Ingatanku berhenti memutar, waktu kulihat seorang ibu tua, dengan tubuh yang masih tegak berdiri tanpa bungkuk sedikit pun, sedang menyiram bunga di halaman rumahnya. Ada seorang perempuan muda pula di sana.
"Tolong ko ambil lagi aer di belakang, Ian."
Perempuan muda itu bergegas mengambil ember hitam dan membawanya masuk melalui pintu samping. Aku telah sampai ke depan pagar.
"Assalamualaikum, Mak."
Emak mengangkat kepalanya melihatku, tersenyum. “Lama ko sampai, Jul. Dah tetunggu aku daritadi.”
Aku memeluk Emak dan mencium tangannya.