Mohon tunggu...
Dee Dee Sabrina
Dee Dee Sabrina Mohon Tunggu... pelajar/mahasiswa -

http://insideedee.wordpress.com

Selanjutnya

Tutup

Puisi

Pulang

16 Februari 2011   00:04 Diperbarui: 26 Juni 2015   08:34 211
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Puisi. Sumber ilustrasi: PEXELS/icon0.com

Becak mesin yang kutumpangi berhenti di depan sebuah papan hijau nama jalan, gang, persisnya. Aku meneruskan masuk ke dalam dengan berjalan kaki. Bukan karena jalan ini tak cukup untuk dilewati becak tersebut, aku hanya ingin mengintip suasana sore di perkampungan tempatku beranjak remaja, menikmatinya.

Seorang anak perempuan berambut mirip mangkok, melewatiku dengan sepeda mini. Lengkap dengan keranjang berisi macam-macam jajanan, di depan stang kemudi. Mukanya tampak familiar. Ah, namanya Asri, aku yakin. Dulu lagi saat kutinggalkan tempat ini, dia masih belajar jalan sambil tertatih. Kurasa sekarang dia telah pun menginjak bangku sekolah.

Aku tersenyum menyapanya, gadis kecil itu mengerutkan kening, lalu menunduk malu-malu. Dikayuhnya sepeda lebih cepat melewatiku.

Sampai di tikungan pertama, kudengar suara sapu lidi menggesek tanah kering. Tampak berikutnya, seorang ibu sedang membersihkan halaman. Di belakangnya, tertutup rimbun bunga, kulihat anak perempuan berikutnya sejak masuk di jalan ini, sedang asyik menyiramkan air pada beberapa tanaman.

"Siramkan tanah tu sekalian, biar tak naek abu ke atas."

Menuruti si ibu, anak perempuan tadi mengambil air pada ember di sebelah tempatnya berjongkok dengan gayung, lalu melempar air ke arah tanah dekat ibunya.

"Oalah.. Telewat lah anak ni! Disiramnya pulak kakiku," si ibu mengomel karena kakinya terkena percik air. Anak gadisnya malah tertawa, aku juga, tak urung tersenyum simpul melihat tingkah mereka.

"Permisi, Bu..." aku menyapa, dibalas senyum ramah olehnya.

Beberapa meter dari rumah itu, sesudah belokan kedua, masih kutemukan pemandangan yang sama. Entah muda maupun tua, beberapa perempuan sibuk menyapu halaman rumah mereka. Suara sapu lidi menggesek rumput dan tanah terdengar sahut-menyahut. Dua di antaranya saling berbicara, setengah berteriak.

"Ikotlah yok, Na.. Nonton kibod kita malam ni!" Seorang gadis remaja, mungkin baru berusia 14 atau 15 tahun, tengah membujuk kawannya.

Kibod. Haha... Yang dimaksud adalah hiburan organ tunggal pada acara resepsi pernikahan orang-orang di kampung ini. Dengan beberapa penyanyi perempuan bertubuh sintal yang meliuk-liuk menari sambil bernyanyi, organ tunggal bersama para biduannya memang sangat digemari.

"Boy, ikotlah malam ni! Cari cewek kita di sana, nonton kibod kita! Jangan di rumah aja kerjamu," Dedi, salah seorang karibku berkata sambil membakar sebatang rokok.

"Gak bisa aku, Ded. Minggu depan dah UAN, mau belajar aku," jawabku sambil menghembus asap dari mulut.

Deru suara kereta dari belakang merusak lamunanku. Aku berjalan semakin rapat ke sebelah kiri, sebuah kereta Honda melaju kencang. Kulihat beberapa pemuda tanggung memaki-maki si pengendara, karena mengebut di jalan kecil ini.

Melewati sebuah pos siskamling tempat pemuda berkumpul, beberapa dari mereka menyapaku.

"Eh, Bang! Maya kabar?" tanya satu di antaranya.

"Mendai," jawabku.

"Lama tak nampak. Apa cerita, apa 'can ni?" tanya yang lain lagi.

"Tak ada, rindu rumah je. Moh, lalu dulu aku."

Mereka menjawab dengan anggukan kepala.

Tiga anak laki-laki kecil berlarian di depanku, wajahnya tertutupi bedak bayi yang dipoles asal-asalan. Bau baru mandi. Terbayang kebiasaan ibu-ibu yang meneriaki anaknya, menyuruh pulang dan bersih-bersih, setelah seharian bermain bebas.

Kemudian kulihat rumah dengan pagar berwarna hijau seling hitam, salah satu paduan warna kebanggaan Melayu selain kuning-hijau.

"Mak, awak dapat beasiswa lanjut sekolah ke Belanda," kataku pada Emak.

"Ko ambillah. Tak payah ko tanya. Emak dukung, karena Mak tak mungkin sekolahkan ko tinggi-tinggi," jawab Emak, tak menjauhkan pandangannya dari secarik kain yang sedang dijahitnya.

"Tapi lama awak pigi, Mak. Dua taon S2 tu, tambah kontrak kerja langsung sesudahnya, tiga taon pertama tak boleh awak pulang ke sini," kataku lagi.

"Tak usah ko kwatir. Aku ni, biar tua, tau jaga diri. Lagi ada si Dian yang bantu-bantu."

Aku hanya diam mendengar tanggapan Emak. Setelah tiga tahun lebih aku meninggalkannya untuk kuliah di ibukota, belum genap setengah tahun, aku harus pergi lagi, dan kali ini ke negara yang berbeda. Betul ada si Dian, anak gadis tetangga yang membantu pekerjaan rumah, tapi meninggalkan Emak yang sudah tua untuk lima tahun, tanpa pendamping pula, bukanlah perkara mudah.

Ingatanku berhenti memutar, waktu kulihat seorang ibu tua, dengan tubuh yang masih tegak berdiri tanpa bungkuk sedikit pun, sedang menyiram bunga di halaman rumahnya. Ada seorang perempuan muda pula di sana.

"Tolong ko ambil lagi aer di belakang, Ian."

Perempuan muda itu bergegas mengambil ember hitam dan membawanya masuk melalui pintu samping. Aku telah sampai ke depan pagar.

"Assalamualaikum, Mak."

Emak mengangkat kepalanya melihatku, tersenyum. “Lama ko sampai, Jul. Dah tetunggu aku daritadi.”

Aku memeluk Emak dan mencium tangannya.

“Masoklah, Mak masak ikan pindang sama sambal belacan, kesukaanmu.”

Aku tertawa sekilas, mengikuti tangannya yang menarikku masuk ke dalam rumah, pulang.

* * *

Stabat, 16 Februari 2011

becak mesin = becak bermotor

abu = debu

kereta = sepeda motor

maya kabar = apa kabar

mendai = baik

apa can = ada apa

moh = mari/ayo

lalu = pergi

awak = saya

sambal belacan = sambal terasi

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Puisi Selengkapnya
Lihat Puisi Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun