Mohon tunggu...
Dee Daveenaar
Dee Daveenaar Mohon Tunggu... Perencana Keuangan - Mediator Urusan Sulit

Akun kedua di Kompasiana. Akun pertama sejak centang biru dihilangkan jadi ga bisa diakses. Perempuan biasa yang demen menulis

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Ketika Pulau Sampah Merangsek Jakarta

26 Oktober 2024   20:09 Diperbarui: 26 Oktober 2024   20:39 57
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bridging Cities UNESCO - British Council 

***

Frankfurt Bookfair - Jakartacityoflit
Frankfurt Bookfair - Jakartacityoflit

Alang dan Marwiyah bergandeng tangan. Pulang. Di depan pintu rumah ada sebuah kotak besar bertuliskan Bansos Pemprov DKI. Isinya beras sepuluh kilo dan dua liter minyak goreng.

Wajah Alang gundah. "Sial!" Dia menghempaskan badannya ke kursi sofa usang. "Maaf, Abang gagal jadi kepala rumah tangga yang seharusnya mencukupi keluarga. Buat beli beras aja kita mesti nunggu bansos."

"Tenang, Bang. Semua nelayan dapat bantuan. Kita senasib," Marwiyah menenangkan suaminya.

Lima tahun lalu, kehidupan Marwiyah dan Alang berbeda. Saban hari, Alang membawa pulang uang segepok dan ikan segar. Bisa sampai tiga ratus ribu itu dibawa pulang. Sekarang, lima puluh ribu pun susah didapat.

Banyak hal terjadi. Sebagian pesisir Teluk Jakarta berubah jadi beton. Reklamasi. Pohon-pohon mangrove yang dulu rapat ditebangi.

Teluk Jakarta jadi tempat  bermuara 13 sungai penuh sampah di Jakarta. Hingga akhirnya jadi tumpukan sampah membentuk semacam pulau seluas satu hektar dengan kedalaman sampai sepuluh meter.

Bau anyir menyengat. Segala macam kemasan plastik, menjebak sampah organik menyebarkan aroma busuk yang susah dilukiskan. Para nelayan Teluk Jakarta yakin, ini yang memperparah situasi. "Bisa jadi bau busuk yang kita cium itu berasal dari ikan terjebak yang mati membusuk. Ikan-ikan jadi enggan mendekati area tangkapan," kata seorang nelayan. Alang sepakat.

Tak ada pilihan lain: para nelayan melaut lebih jauh dari biasa, menghindari pulau sampah yang jadi kuburan ikan. Melaut lebih jauh butuh perahu yang lebih baik. Beberapa kali kejadian, perahu kecil dihempas ombak dan nelayan bertaruh nyawa berhari-hari di tengah laut. Tapi, apa boleh buat, demi tangkapan ikan.

          ***

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun