Mohon tunggu...
Dee Shadow
Dee Shadow Mohon Tunggu... -

Esse est percipi (to be is to be perceived) - George Berkeley

Selanjutnya

Tutup

Humaniora

Jangan Gentar Pasukan Surga, Mereka Hanya Orang Bodoh

27 Agustus 2016   09:56 Diperbarui: 27 Agustus 2016   10:01 190
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Humaniora. Sumber ilustrasi: PEXELS/San Fermin Pamplona

Apa tanda jika seseorang pantas disebut beriman?

Tentu saja seseorang harus risih dengan atheisme atau agnostisisme. Sederhanannya, semua yang tidak percaya atau menunda kepercayaan terhadap Tuhan adalah musuh kita bersama. Musuh yang harus diserang. Musuh yang harus dikalahkan seperti yang diperintahkan oleh Tuhan di surga.

 Nama-nama seperti Nietschze, Karl Marx atau Sidmund Freud adalah target yang harus terus kita bidik untuk mempermalukan orang atheis atau juga sekalian orang agnostik. Biar tahu rasa mereka. Orang-orang yang dangkal keilmuannya. Orang yang tidak mengenal ilmu Ketuhanan yang merupakan ilmu terakhir yang paling benar dengan kemahakuasaan absolutnya adalah orang yang rendah ilmunya. Tidak seperti kita.

Tetapi tunggu dulu….apakah setidaknya kita perlu sedikit mengerti apa yang disebut dengan Tuhan telah matinya Nietschze dalam the gay science, atau agama adalah candunya Karl Marx dalam Critique of Hegel's Philosophy of Right atau Agama adalah ilusinya Sidmund Freud dalam the future of Illusion? Sedikit saja? Apakah kita perlu mengumpulkan materi bacaan sebelum mengatakan ketiga orang tersebut pendosa tidak berilmu karena tidak mengenal Tuhan yang maha kuasa? 

Cuma khawatir…. jika tidak, bukankah itu bentuk ketidakpantasan atau ketidakadilan? Bukankah meletakkan pengabaian dan kekurangan informasi di atas perhatian dan kecukupan informasi akan menjerumuskan kita ke dalam tindakan tidak pantas atau tidak adil? Jika memang benar seperti itu, bukankah aneh. Katakanlah dalam seluruh proses pengadilan hakim tidak perlu mempelajari kasus dan langsung saja menjatuhkan hukuman. Bukan kah jika memang seperti itu, pengadilan yang cermat dan teliti adalah aneh dan yang sebaliknya adalah wajar?

Ya memang seperti itu….atau setidaknya yang melekat pada kita, hmmm ….mereka sebut itu hati nurani, membuat kita merasa nyaman karena terbebas dari keharusan untuk tidak tampak aneh dan masuk akal. Lagipula pedang suci yang kita bawa untuk membabat para atheis dan agnostik tidak membutuhkan kejelian dan kecermatan. Pedang suci hati nurani, bukan golok akal yang tumpul.

Jadi kita memang tidak perlu memahami bahwa yang dimaksudkan Tuhan telah matinya Nietschze adalah cerminan kemunafikan dan ilusi dari masyarakat beragama yang sikapnya tidak beragama? Memang nyaman…. kita selalu bisa mengelak dari perasaan bersalah bahwa kita lah yang membunuh Tuhan itu. Kita lah yang berbuat dosa. Kita lah yang berlumuran darah telah membunuh Tuhan dan membuat bangsa ini tenggelam dalam lumpur nistanya korupsi.

Bukan…bukan kita pembunuh itu. Bagaimana pasukan suci bisa menjadi pembunuh? Pasukan suci tidak bisa berdosa. Hati nurani tidak pernah salah. Ya…kita harus semakin yakin, kita adalah pasukan suci yang sudah dibasuh dengan air surga. Kita juga harus membantai Karl Marx yang sudah berani berkata agama adalah candu. Si penista agama itu termasuk dalam daftar.

Tetapi tunggu dulu bukankah sebelumnya dalam paragraf yang sama, dia, si penista agama, itu menyebut bahwa agama adalah rintihan dari makhluk yang tertekan? Atau sebelumnya si penista agama ini menyebutkan agama adalah protes melawan penderitaan? Bukankah kita setidaknya perlu membaca satu paragraf itu utuh jika malas membaca seluruh bukunya?

Tentu saja tidak air suci itu telah dibasuh dan si penista agama ini adalah orang tidak berilmu yang tulisannya tidak pantas dibaca. Orang yang tidak memiliki hati nurani seperti kita.

Bukankah penghakiman seperti itu tidak adil? Sama tidak adilnya jika kita terus menghujat Sidmund Freud yang berani berkata agama adalah ilusi dan Tuhan muncul karena kebutuhan rasa aman dari sosok ayah yang kuat yang muncul sewaktu kita kecil tanpa mempelajari konsep berpikirnya. Bukankah itu mengingatkan kita akan psikoanalisa yang ditujukan untuk menganalisa struktur psikologi manusia? Hanya berpikir kalau kita perlu mempelajarinya,…. sedikit saja.

Jawabannya tetap tidak perlu karena sekali lagi kita adalah pasukan suci dari surga yang mendapat mandat langsung dari Tuhan untuk menghancurkan mereka, untuk membela kerajaan surga dan tahta Tuhan. Ketika baju besi putih yang berkilat sudah dipakai , dia tidak bisa dilepas karena melepasnya adalah tanda kelemahan iman. 

Ketika pedang suci telah dicabut, tidak bisa disarungkan kembali karena itu adalah tanda kompromi. Ketika kuda sudah dihentak, hanya ada satu kata….maju! Majulah pasukan surga. Jangan gentar, lagipula mereka hanyalah orang-orang bodoh. Kita lah orang-orang pintar itu. Kita lah pemegang kebenaran menyeluruh. Kitalah pasukan pelopor untuk menghancurkan peripatetisisme. Kitalah yang ditakdirkan untuk menghancurkan idealisme. Kebenaran itu tidak ada dalam pikiran kita. Kebenaran adalah kebenaran. Maju…..Majulah.

Petir tiba-tiba menyambar. Semuanya diam, ketakutan. Seakan-akan Tuhan murka dan mengingatkan hanya Dialah pemegang kebenaran menyeluruh yang terakhir dan absolut.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun