Komunisme Marxisme-Leninisme sangat bersandar pada gerakan politik yang mendobrak kemapanan struktur politik dan ekonomi yang menguntungkan sebagian kecil orang tetapi menyengsarakan sebagian besar orang. Komunisme Marxisme-Leninisme tidak harus menunggu sampai kapitalisme menjadi terlalu gemuk untuk menopang dirinya dan kesadaran kelas pekerja sudah pada titik dimana kekuatannya bisa dengan sendirinya menggantikan sistem Kapitalistik dan masuk ke masyarakat komunis pertama (atau sosialisme) dalam teori komunisme Marxisme sebelum pada akhirnya mencapai masyarakat komunisme terakhir.
Itu lah mengapa dalam Komunisme Marxisme-Leninisme, dikenal istilah partai pendobrak/perintis (Vanguard party) untuk merebut kekuasaan dari sistem kapitalistik. Intensitas perebutan kekuasaan yang kental dalam Komunisme Marxisisme-Leninisme mengubah warna perjuangan kelas dengan memberikan warna politis yang kental dan seringkali dalam perjalanan sejarahnya menjadi “gelap”. Di sisi lain, komunisme non-marxisme seperti komunisme anarkis tidak setuju dengan gagasan keharusan pembentukan negara sosialis (dalam pengertian teori komunisme Marxist) untuk mencapai masyarakat komunis.
Di sisi lain, anda mungkin terkejut jika Anda mengetahui ada kelompok komunisme kristen yang mendasarkan dalil mereka pada ajaran-ajaran Jesus yang dalam penafsiran mereka mendukung terbentuknya masyarakat komunis tanpa kepemilikan prifat dan tanpa kelas. Keterkejutan yang bisa dimengerti karena sekali lagi sayangnya wacana komunisme terlalu dipersempit pada wacana-wacana anti agama dan anti Tuhan.
Yang terakhir, Hak Asasi Manusia. Apa yang salah dengan memperjuangakan hak asasi manusia? Jika pandangan-pandangan reduksionistik di atas bisa dipahami dari sisi sejarah bangsa ini maka pandangan reduksionistik tentang Hak Asasi Manusia adalah sesuatu yang jelas tidak perlu dilakukan untuk maksud dan tujuan apa pun. Bagaimana manusia bisa dimanusiakan jika hak-hak dasar mereka tidak terpenuhi atau dikekang untuk dipenuhi dengan maksud keuntungan sosial dan politik dari segelintir orang?
Persoalannya, apakah ketika berada di media sosial populer, kita harus menggunakan pandangan reduksionistik untuk tetap “membumi” atau berbicara teknis untuk menampilkan strukturnya secara terperinci? Di sinilah diperlukan kearifan bersikap dan kehatian-hatian dalam menyampaikan pandangan dan yang paling penting adalah tetap menempatkan kecukupan informasi sehingga ketika toh kita harus menggunakan pandangan reduksionistik, pandangan itu bukan satu-satunya pandangan yang kita miliki.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H