Moral manusia yang tidak bisa disamakan dengan moral Deitas akan memberikan ruang bahwa pelacur itu belum tentu bersalah menurut Tuhan, meskipun secara moral bersalah menurut manusia. Seorang rohaniawan belum tentu masuk surga karena yang berlaku pada ketentuan itu adalah ukuran moral manusia, bukan Tuhan. Hal yang sama juga berlaku untuk koruptor dan neraka.
Yang tidak disadari oleh theis ketika berkata kebenaran itu milik Tuhan adalah benih relatifisme MMR yang ada padanya kecuali Deitas diposisikan sebagai entitas transendental yang terikat pada kebaikan sebagai esensinya sekaligus eksistensinya serta keadilan sebagai bentuk kepanjangan atas kehendak manusia.
Tetapi sekali lagi pemosisian seperti itu akan mereduksi kemahakuasaan Tuhan. Sehingga bisa dimengerti jika obsesi terhadap kemahakuasaan Tuhan masih yang dinomorsatukan diantara aspek-aspek teologis lainnya dengan menggunakan solusi keimanan pada setiap polemik teologi.
Membela pelacur sebaiknya ditempatkan pada fakta bahwa mereka adalah manusia dan tetap patut mendapatkan perlakuan yang manusiawi. Mencerca atau melecehkan tidak akan pernah bisa disebut sebagai sikap yang manusiawi tetapi sikap manusiawi juga tidak boleh mengabaikan struktur benar-salah karena tidak ada kemanusiaan tanpa struktur benar-salah. Dan pada bukti-bukti empirik dan positifsitik lah manusia sebaiknya menyandarkan moralitasnya karena entitas transendental akan selalu bersifat transendental dan sebaiknya ditempatkan pada posisinya yang semestinya.
Keterangan:
Artikel ini artikel filsafat tentang persepsi terhadap pelacuran yang di dalamnya terdapat elemen-elemen relatifisme. Tanggapan dan komentar sebaiknya tidak membawa-bawa keyakinan agama. Terima kasih.Â
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H