Perbedaan-perbedaan yang muncul sebagai akibat dari sifat eksistensial sebuah masyarakat memang tampak terlihat dan bisa dideskripsikan dengan Jelas. Perbedaan seperti ini bisa disebut dengan descriptive moral relativism atau disingkat DMR. Tetapi pada DMR masih tersedia ruang untuk kesamaan yang tidak relatif atau bersifat absolut.
Pada kasus di atas, letak keobyektifitasannya terletak pada fakta bahwa pada kedua kultur, terdapat persamaan yaitu tuan rumah sama-sama menginginkan penghargaan. Lebih jelasnya di satu kultur tuan rumah menginginkan penghargaan berupa penghindaran sikap kerakusan sedangkan di kultur satunya tuan rumah menginginkan penghargaan berupa pengungkapan apresiasi jerih payah.
DMR pada umumnya tidak bermasalah karena ada kesesuaian dengan konsep keobyektifan atau keabsolutan moral. Pertentangan dengan moralis akan mucul jika relatifisme bergerak semakin jauh, tidak lagi berada di wilayah deskriptif, tetapi benar-benar relatif. Keabsolutan relatifisme ini yang melahirkan apa yang disebut dengan metaethical moral relativism atau sering disingkat dengan MMR.
JIka menjadi pelacur adalah benar karena alasan ekonomi, maka menjadi pelacur tidak salah. Jadi tidak ada benar-salah. Di sinilah nada MMR terasa sangat kuat.
Ketidaklogisan MMR adalah terletak pada tidak adanya struktur kebenaran, karena yang benar bisa salah dan yang salah bisa benar. Penghilangan struktur adalah skeptisime akut yang pernah menjadi viral seiring digagasnya nihilisme oleh Nietschze, ketegangan yang muncul karena ketidaksesuaian antara apa yang ingin kita nilai dengan apa yang dimunculkan oleh dunia dan ketidakadaan nilai obyektif yang akan membawa manusia berada dalam krisis. Â
Nihilisme mengilhami gerakan perspektifisme dimana semua hal bergantung pada perspektif atau sudut pandang. Sebuah gerakan yang dicoba dihentikan oleh Edmund Huserl dalam konsep fenomenologinya dengan transcendental idealism di dalamnya. Edmund Huserl tampak ingin mempertahankan struktur kebenaran seperti Martin Heidegger dalam tulisannya di Being and Time meskipun ada kecenderungan penghancuran dasar metafisik yang tidak pantas menurut dia.
Menyikapi dasar kelogisan dalam perspektifisme, setidaknya secara positifitis dari bukti-bukti empiris yang ada penundaan benar-salah untuk pelacuran bisa dibuktikan validitas kebenarannya. Tinggal dilakukan survei apakah keberadaan kompleks pelacuran berdampak pada kehidupan sosial pada umumnya atau kehidupan keluarga pada khususnya.
Pernyataan salah satu tokoh nasional bahwa pelacuran merusak kehidupan keluarga tentu saja sudah didasari oleh pertimbangan-pertimbangan positifistik,. Keputusan walikota Surabaya menutup kompleks pelacuran di kotanya tentu saja tidak hanya berlandaskan pada konsep dosa-pahala yang sebenarnya harus menempatkan teologi untuk menjauhi konsep-konsep relatifistik.
Dan jika secara empiris positifistik, terdapat bukti ilmiah (mungkin berupa data statistik) bahwa pelacuran atau prostitusi memiliki hubungan negatif dengan keharmonisan keluarga dan kestabilan hubungan sosial, maka secara empiris positifistik tidak ada alasan atau ruang untuk menegasikannya dengan pembelaan deterministik kausal. Â
Konsep dosa-pahala yang masih dominan pada teologi theis seharusnya juga berfungsi sebagai pertahanan theis melawan relatifisme, bukan justru terperangkap masuk relatifisme karena terlalu terobsesi pada kemahakuasaan Deitas (omnipotent) .
Kemahakuasaan yang dipelihara dalam posisi yang tidak bisa disentuh oleh manusia akan memunculkan bibit-bibit relatifisme MMR yang ironisnya harus dihindari oleh theis karena konsep dosa-pahala/neraka-surga.