Mohon tunggu...
Dee Shadow
Dee Shadow Mohon Tunggu... -

Esse est percipi (to be is to be perceived) - George Berkeley

Selanjutnya

Tutup

Humaniora

Tragedi Mina, Kemanusiaan dan Kepantasan Kognitif

25 September 2015   11:01 Diperbarui: 25 September 2015   11:16 399
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Humaniora. Sumber ilustrasi: PEXELS/San Fermin Pamplona

Mendung bayangan jatuhnya crane di kompleks Masjidil Haram yang masih menaungi dialektika kognitif kita terkait ibadah spiritual dan tuntutan kemanusiaan menjadi semakin gelap dengan berita mengejutkan yang datang dari Mina.

Seperti diberitakan luas, telah terjadi insiden di Mina selama proses ritual pelemparan Jumrah yang menelan korban jiwa sebanyak 700 ratusan jiwa dan 900 ratusan korban luka. Disebut-sebut insiden ini adalah yang terburuk selama 20an tahun penyelenggaraan ibadah Haji.

Jumlah korban meninggal sudah mencapai titik di mana kata “tragedi” bisa disematkan padanya. Seperti tragedi-tragedi lainnya yang melibatkan manusia di dalamnya di mana unsur-unsur alam tidak menjadi unsur sebab dominan (yang menjadi dasar legalitas terminologi ‘tragedi kemanusiaan’ ), tragedi seperti ini tentu saja dan seharusnya mengguncang pendirian kita terkait pemaknaan kita tentang kemanusiaan.

Lebih jauh, dalam kerangka pemahaman era globalisasi informasi seperti ini dan keterkaitannya dengan kemajuan persepsi kemanusiaan, seharusnya persepsi kemanusiaan yang terbentuk sudah beranjak dari wujud lokalnya dan seharusnya benih-benih persepsi kemanusiaan yang lebih global sudah mulai tumbuh bersemi. Sehingga sebuah tragedi kemanusiaan di suatu tempat yang jauh dari wujud eksistensial kemanusiaan kita harus dimaknai sebagai wujud eksistensial lain yang mempengaruhi perkembangan dan kemajuan kemanusiaan kita dan peradaban yang melekat padanya.

Tidak peduli siapa yang menjadi korbannya dan hubungan kausalitas apa yang menjadi penyebabnya, tragedi itu sudah sepantasnya mengguncang kemapanan rumah kemanusiaan kita. Pengabaian terhadap  hubungan ini bisa dikategorikan sebagai kemunduran kemanusiaan.

Atau kemanusiaan di suatu tempat sudah begitu buruknya, sehingga kita secara tidak sengaja membentuk wilayah perlindungan suci (sanctuary) untuk melindungi kemanusiaan kita dari virus-virus penyakit kemanusiaan dan meletakkan sejenak penting dan gentingnya menciptakan panasea. Setidaknya itu adalah sebuah pembenaran yang cukup baik.

Setiap tragedi kemanusiaan akan disusul dengan dialektika struktur kebenaran untuk mencari tahu struktur moralitas yang bisa ditangkap darinya. Dengan asumsi bahwa setiap individu akan terlibat secara aktif dalam pembentukan struktur moralitasnya sebagai kewajiban individu tersebut dalam perjuangan menegakkan rumah kemanusiaan dan asumsi bahwa yang sebaliknya adalah hal yang bertentangan dengan kewajiban tersebut dan apa pun alasannya adalah bentuk pengabaian (dan tidak ada kebaikan dalam pengabaian), perbincangan dialektik terkait benar dan salah sudah semestinya dan sewajarnya muncul karena tuntutan tindakan dalam tanggungjawab untuk pembentukan struktur moralitas (dalam pemahaman bahwa berpikir sudah termasuk dalam bentuk tindakan idealistik yang kemudian akan diekspresikan pada tindakan nyata melalui proses internalisasi).

Dan larangan dalam bentuk apa pun dari siapa pun untuk membangun konstruksi moralitas adalah doktrin yang melawan gerak maju kemanusiaan, doktrin yang membenci kemajuaan kemanusiaan melalui kemandirian berpikir (atau apa yang disematkan sebagai filsafat kemandirian pada filsafat Ibnu Ruysd).

Pemikiran akan masuk dalam sebuah kerangka konstruksi kebenaran yang mengisyaratkan keharusan untuk legitimasi konstruksi kebenaran menyeluruh. Dan tentu saja yang sebaliknya dengan dalih apa pun akan menyeret kita masuk dalam perangkap pasir hisap  relatifisme yang dibungkus dalam perspektifisme.

Dan akan sangat aneh jika ajaran relijius cenderung menyandarkan logika teologinya kepada relatifisme dengan menampik kemungkinan untuk membentuk kerangka kebenaran menyeluruh  dan melarang menyentuh pemahaman keputusan deitas dengan logika. Dan jika ada maka menjadi sebuah relatifisme yang menarik untuk dibahas di lain kesempatan (sebagian sudah dibahas pada pembahasan teologi bencana).

Dalam kerangka kebenaran, sebaiknya pembahasan  tragedi Mina seperti tragedi-tragedi kemanusiaan lainnya diawali dari wilayah empirik. Mengawalinya dengan pembahasan metafisik adalah sebuah pemaksaan dan ketidakpantasan, setidaknya menurut filsafat kepantasan dialektik Kantian.

Empirisme materialistik dengan metode pembuktiannya  yang lugas berdasarkan hubungan kausalitas memberikan ruang terang untuk menemukan kesalahan dan mengawali perbaikan dari kesalahan tersebut. Sebuah pemosisian pada pandangan positifistik yang menekankan data dan fakta aktual serta kebenaran reflektif yang muncul dari mereka.

Tentu saja  pendekatan metafisik dengan menghubungkan  pencarian kebahagiaan spiritual dengan konsep metafisiknya Aristoteles yang dirumuskan di Nicomachean Ethics adalah suatu yang menarik karena didalamnya terdapat pembahasan mengenai pilihan sadar sehingga menghubungkan antara ajaran agama yang (sayangnya) masih dipenuhi dengan dogma dengan pilihan sadar ini akan menjadi pembahasan yang menarik.

Tetapi pembahasan seperti itu, serta pembahasan-pembahasan peran deitas yang seharusnya dimaknai transenden, adalah pembahasan metafisik dan menghubungkan pembahasan seperti itu dengan insiden Mina adalah ketidakpantasan praktis positifistik meskipun ada legitimasinya.

Mulai saja pembahasannya dengan pengumpulan data mengenai jumlah pengunjung yang melakukan ibadah spiritual dengan daya tampung kota. Diteruskan dengan apakah pemrosesan penerimaan kuota pengunjung sudah disesuaikan dengan daya tampung dan fasilitas sarana dan prasarana. Atau masuk lebih  dalam  seperti apa dan bagaimana protokol keamanan  dijalankan dan kemudian dilanjutkan dengan  lebih fokus pada pertanyaan seperti apakah  aparat keamanan  sudah cukup memadai untuk menegakkan protokol yang ada.

Pembahasan positifistik akan bermuara pada solusi praktis seperti sebaiknya diberlakukan pembatasan dan peraturan ketat pada pemberian kuota Haji, pengetatan protokol keamanan dengan penambahan jumlah aparat pengaman, pemberlakukan kerjasama  lintas Negara untuk pengadaan sumber daya dan pemberian pemahaman yang semestinya terkait keabsahan suatu ritual keagamaan melalui hubungan kontekstualnya antara apa yang dicontohkan pada  sejarah awal perkembangan agama dengan kekinian.

Terlepas kritik terhadap pendekatan positifistik karena sifatnya yang hanya mengangkat metode deduktif dari kebenaran yang dianggap absolut, pendekatan ini setidaknya hanya bersandar pada fakta-fakta empirik sehingga pendekatan ini adalah pendekatan yang pantas ketika berbicara tentang tragedi kemanusiaan yang disebabkan oleh persoalan-persoalan teknis.

Kepantasan  kognitif  setidaknya harus dijadikan titik awal pembahasan dan tahap susunan kognitif tidak bisa diabaikan begitu saja.

(Sebuah artikel filsafat dalam upaya pemahaman kemanusiaan dan struktur kebenaran)

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun