Mohon tunggu...
Dee Shadow
Dee Shadow Mohon Tunggu... -

Esse est percipi (to be is to be perceived) - George Berkeley

Selanjutnya

Tutup

Humaniora

Antara Cinta, Patah Hati dan Bunuh Diri

20 September 2015   10:10 Diperbarui: 20 September 2015   11:12 329
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Humaniora. Sumber ilustrasi: PEXELS/San Fermin Pamplona

Setiap orang pasti memiliki cinta jika cinta adalah ciri kemanusiaan yang dibawa atau melekat pada setiap orang sejak dia lahir. Tidak mungkin ada orang yang dilahirkan tanpa cinta karena yang demikian akan membuatnya menjadi bukan manusia. Tetapi cinta seperti ini adalah cinta dalam bentuknya yang universal sebagai akibat dari aliran kebaikan dari sumber pertama kebaikan yang menjadi sumber pertama cinta.

Membahas cinta seperti itu pasti masuk ke pembahasan metafisik karena dalam bentuknya seperti itu cinta akan menjadi esensi dari kemanusiaan yang akan selalu dituntut untuk diartikan kebaikan. Pembahasan metafisik esensial akan melahirkan konsep kebaikan universal yang tidak terikat pada wujud selain wujud universal manusia. Artikel ini tidak akan membahas cinta seperti itu dan lebih mengartikan cinta sebagai wujud eksistensial yang wujudnya sudah berada dalam keterikatan kausalitas.

Artikel ini juga tidak akan membahas perwujudan cinta dalam semua wujud eksistensialnya terhadap semua obyek karena pembahasan seperti itu akan sangat panjang lebar. Fokusnya lebih ditekankan pada obyek cinta terkait hubungan lawan jenis.

Hubungan cinta antara dua individu yang berlawanan jenis sulit untuk digambarkan wujudnya yang sebenarnya yang menampilkan semua atribut di dalamnya. Berbagai macam kisah percintaan berusaha untuk menggambarkannya dengan baik dalam perlombaan romantisme upaya pendefinisian cinta yang akurat.

Kisah Romeo dan Juliet mungkin pemenangnya. Tidak ada kisah percintaan yang digambarkan begitu indah, dramatis dan tragis seperti kisah ini. Yang menarik adalah apakah nilai-nilai kemanusiaan, jika tetap berpegangan pada cinta adalah wujud dari esensi kemanusiaan, harus digambarkan dengan akhir yang tragis.

Jika kisah ini bertentangan dengan  pandangan sebagian besar moralis yang beranggapan bahwa setidaknya dari konsep categorical imperative muncul keharusan universal untuk menghindari bunuh diri karena bertentangan dengan nilai-nilai universal moralitas maka kisah ini bukan kisah yang baik. Dan kemenangannya harus ditangguhkan terlebih dahulu.

Tetapi siapa kemudian yang menjadi pemenangnya karena cinta dalam wujudnya tidak akan pernah menampilkan atribut lengkap karena atribut lengkap hanya menjadi pemilik realita akhir, sang pemilik cinta yang sebenarnya. Bukankah kemudian perlombaan ini seperti perlombaan tanpa ada akhir dan hanya menghasilkan perenungan. Atau mungkin perenungan itu saja yang dibutuhkan, bukan perayaan.

Jika wilayahnya berada pada perenungan dan bukan kebenaran an sich, tentu saja patah hati karena penolakkan tidak mendapatkan dasar rasionalnya. Patah hati harus dimaknai hanya sebagai penerimaan kesan yang sangat menyakitkan karena ide yang terbentuk pada keyakinan kognitif sebelumnya mengatakan bahwa seharusnya tidak ada penolakkan. Dan sebaliknya, jika keyakinan kognitif memberikan ruang terhadap penolakkan maka perasaan patah hati (selama patah hati dimaknai sebagai kesan yang sangat menyakitkan, bukan perasaan sakit dengan intensitas dibawahnya), tidak akan muncul.

Apakah dengan hal ini tesis awal bahwa patah hati  tidak memiliki dasar rasionalitasnya menjadi keliru karena dengan adanya keyakinan sebelumnya yang kuat bahwa penolakkan tidak akan terjadi akan memunculkan patah hati setelah penolakkan.

Jawabannya  bisa dialektik. Salah satunya adalah bahwa ketidakrasionalitasan yang disebutkan di awal adalah ketidakrasionalitasan patah hati karena ketidakpantasan meletakkan dan menterjemahkan cinta sebagai wujudnya yang eksistensial yang melibatkan dua individu dengan wujud eksistensinya masing-masing, sebagai wujud yang sebenar-benarnya wujud dan persoalan yang ada dalam wujud tersebut menjadi pembenaran moral universal untuk merasa patah hati.

Dasar rasionalitas patah hati di contoh kemudian adalah masuk ke wilayah persepsi seseorang terhadap fenomena yang dia tangkap dan bagaimana pengalamannya memprosesnya secara empirik. Kerasionalitasan subyektif yang menjadi ketidakrasionalitasan obyektif karena tidakadanya resep universal untuk  memperoleh sikap universal apa yang harus dilakukan untuk mensikapi persoalan cinta (karena moralis akan mengutuk Romeo dan Juliet, apalagi kaum theis yang menganggap bunuh diri adalah dosa besar).

Imannuel Kant pernah menulis surat kepada salah satu siswanya yang patah hati karena hubungannya dengan kekasihnya retak karena dia telah mengungkapkan sesuatu yang dulu disembunyikan.  Satu paragrafnya berbunyi seperti ini:

Ketika perubahan sikapmu sudah kamu tunjukkan kepada kekasihmu, hanya waktu yang kamu butuhkan untuk menghilangkan, sedikit demi sedikit, kemarahannya yang memang ada benarnya dan mengubah dinginnya sikapnya menjadi cinta yang lebih kuat. Jika ini tidak terjadi  maka hangatnya perasaan kasihnya dulu lebih karena hal-hal yang bersifat fisik bukan moral dan hal seperti itu akan cepat menghilang . Ketidakberuntungan yang sering kita temui di hidup ini dan jika kita benar-benar bertemu dengannya, kita harus menghadapinya dengan kesabaran. Karena nilai kehidupan, sejauh kenyamanan yang kita peroleh dari orang lain, seringkali dilebih-lebihkan.

Waktulah yang akan membuktikan apakah persoalan yang muncul itu akan selesai atau tidak dan apakah hubungan lebih bersandar pada fisik atau nilai-nilai moral. Dan jika hanya bersandar pada fisik, dasar seperti itu sangat rapuh. Dan jika seseorang yang sebelumnya terlena dan mabuk karena persepsi yang berlebihan tentang cinta haruslah melengkapi dirinya dengan kesabaran dan ketabahan. Setidaknya itu menurut Kant.

Tetapi ada yang kurang. Kant tidak menyebutkan (setidaknya dari penafsiran penulis dari isi keseluruhan surat Kant) pentingnya perenungan dan upaya keras dialektik untuk memahami hubungan antara wujud (seseorang sebagai eksistensinya) dengan wujud lain dalam bingkai universalitas kemanusiaan. Yang menarik pada bagian awal surat Kant menyampaikan bahwa surat siswanya tersebut dibuat dari hati yang di dalamnya terdapat nilai-nilai kebaikan dan kejujuran (atau potensi nilai-nilai jika dihubungkan dengan konsep kemunculan baik-buruk Kant di Religion Within the Limit of Reasons).

Andai saja muridnya benar-benar merenungi surat Kant tetapi, sayangnya, pada tahun 1803, siswanya tersebut akhirnya bunuh diri.

 (Artikel ini adalah pembahasan filsafat tentang cinta. Bukan  artikel motivasi. )  

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun