Mohon tunggu...
Dee Shadow
Dee Shadow Mohon Tunggu... -

Esse est percipi (to be is to be perceived) - George Berkeley

Selanjutnya

Tutup

Humaniora

Antara Lebaran dan Mengobral Maaf

18 Juli 2015   13:29 Diperbarui: 18 Juli 2015   13:29 145
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Humaniora. Sumber ilustrasi: PEXELS/San Fermin Pamplona

Lebaran tiba. Seperti tahun-tahun sebelumnya, tampaknya tidak ada atribut eksistensial baru yang ditampilkan oleh fenomena tahunan yang dirayakan oleh jutaan warga Indonesia. Hiruk-pikuk mudik, lonjakan jumlah kendaraan di jalan raya, peningkatan jumlah pengunjung tempat-tempat rekreasi dan perbelanjaan yang tentu saja disertai lonjakan volume transaksi uang, gairah merengkuh sebanyak-banyaknya kenikmatan sosial dari bentuk-bentuk kekerabatan dan hubungan-hubungan sosial lainnya tetap menjadi ciri-ciri eksistensial utama Lebaran.

Mendapatkan legitimasinya dari praktek keagamaan, hari raya Lebaran tentu saja menampilkan atribut-atribut relijius. Karena legitimasi sosialnya berasal dari keyakinan relijius, atribut utama eksistensial sosial Lebaran seharusnya merupakan perwujudan atribut esensial ajaran agama. Jika yang esensial dikaburkan dengan yang eksistensial aksidental, tentu saja tidak berarti yang esensial hilang. Sudut pandang subyektif masyarakat sebagai entitas sosial dalam memaknai sebuah hari raya relijius tidak boleh kehilangan makna esensial dari sebuah perayaan agama karena sayangnya (dan akan menjadi sesuatu yang memprihatinkan dan harus menjadi bahan perenungan bagi theis) jika yang terjadi demikian maka sulit kiranya  perayaan itu bisa disebut dengan perayaan agama.

Apakah ada ketegangan antara ajaran Agama dengan realita sosial yang lahir dan besar di lingkungan yang dikuasai dan didikte oleh agen-agen industrialisasi dan pemodalan merupakan hal yang menarik untuk dibahas atau/dan sejauh mana ketegangan itu mempengaruhi persepsi ajaran agama dalam menggapai realita akhir (ens reallisimum) adalah pembahasan yang tidak kalah menarik.

Salah satu atribut agama yang melekat pada Lebaran adalah konsep meminta maaf1. Konsep meminta maaf adalah konsep moral yang merupakan bagian dari etika. Konsep moral berasal dan menjadi bagian inheren dari entitas sosial. Entitas sosial pasti membutuhkan wujud (existent) dan konsep moral adalah atribut dari wujud entitas sosial. Mempertimbangkan bahwa sebuah konsep sosial pasti berhubungan dengan pandangan subyektif individu serta pengaruh timbal balik antara individu dan kode etika yang dihasilkan, konsep moral di sini tentu saja berhubungan dengan pengalaman. Semua pengetahuan  pasti dimulai dengan pengalaman. Karena tidak mungkin proses kognitif (moral sebagai produk dari proses ini) bisa bekerja tanpa adanya sentuhan antara subyek (panca indera) dengan obyek2.  

Konsep meminta maaf sebagai konsep moral pasti berhubungan dengan pengalaman. Pengalaman adalah subyektifisme. Apa yang seseorang alami tidak akan sama dengan apa yang dialami oleh orang lain. Konsep moral sebagai atribut eksistensi individu tentu saja menjadi atribut unik yang terlihat pada individu sebagai fenomena. Prinsip yang sama bisa diterapkan pada konsep meminta maaf. Individu yang terlahir di lingkungan yang menjunjung nilai-nilai individualisme akan memiliki konsep meminta maaf sebagai kepanjangan dari konsep pengakuan kesalahan yang berbeda dengan individu yang terkondisikan untuk mengkampanyekan konsep kolektifisme.

Perhatikan contoh kasus berikut ini. A adalah seorang pengusaha dari kota yang sedang merintis usahanya di sebuah wilayah pedesaan. A membeli sepetak lahan yang cukup luas untuk usahanya kelak. Sambil menunggu usahanya dimulai, A mengupah B hanya untuk merawat lahan tersebut beserta beberapa pohon mangga yang ada di dalamnya. A tidak memiliki rencana untuk mengambil keuntungan finansial dari pohon-pohon mangga tersebut. Tetapi ketika mendekati waktu panen, sebagian buah mangga hilang. A mengetahui bahwa B yang telah mengambil sebagian mangga tersebut untuk dijual sebagai tambahan penghasilan tanpa sepengetahuannya. A berinisiatif menegur B karena tindakannya tetapi B bersikukuh bahwa A tidak membutuhkan mangga yang tidak seberapa jumlahnya karena menurut B, A adalah orang yang berkecukupan, tidak seperti dirinya dan sudah menjadi kewajiban A untuk bersedekah kepada orang sepertinya. Menurut A, apa pun alasannya tindakan B tidak bisa dibenarkan karena melanggar properti  orang lain selain juga melanggar perjanjian yang sudah disepakati. Perselisihan ini tidak terselesaikan sampai Lebaran tiba dan A yang memiliki saudara di wilayah itu tidak sengaja bertemu B ketika dia berkunjung ke saudaranya. Siapa yang harus meminta maaf, A atau B?

A sebagai seseorang yang memiliki dan menerapkan konsep moral individualisme tentu saja memiliki dasar pembenaran terhadap tindakannya sedangkan B yang berasal dari desa dan terkondisi dengan pentingnya sikap kolektifisme juga memiliki dasar pembenarannya sendiri. Persoalan ini tidak bisa direduksi menjadi bentuk ideal metafisik yang menegasikan perbedaan konsep moral dengan slogan “yang meminta maaf terlebih dahulu yang mendapatkan pahala.”

Rekonsiliasi menjadi penting dalam perkara ini. Dan rekonsiliasi tidak membutuhkan permintaan maaf karena rekonsiliasi adalah menemukan titik tengah di mana tidak ada pihak yang kehilangan kehormatannya dengan mengaku salah dan meninggalkan konsep moralnya. Konsep moral individu adalah realita individu tersebut. Konsep metafisik seharusnya menempatkan manusia sebagai manusia, bukan menuntut manusia untuk menjadi entitas non-manusia dengan tuntutan moral yang tidak bisa dipenuhi atau berlawanan dengan kodrat manusia.

Daripada mengobral kata maaf, sebaiknya kata maaf sebagai perpanjangan dari konsep meminta maaf dan memaafkan ditempatkan pada posisinya yang memanusiakan manusia.

 

Keterangan:

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun