*****
Malam kesekian, Bulan sudah berganti wajah di atas sana. Awan hitam yang memayung di atas kepala Mina kian membesar luasnya. Semua masih sama muram, gelap, tak bernyawa. Bahkan, macam mimpi Bujang yang sudah ia hancurkan sekali pun, terasa mustahil bulan itu akan jatuh ke pangkuan Mina pula.
Mina tak akan menyampaikan keputusan itu bila wajah Bujang tak terlampau sumringah ketika menggendong Safiah, bocah perempuan sebelah rumah yang tingginya batas selutut orang dewasa. Ketidakberdayaan ini membuat Mina menangis di balik tirai sendirian; hanya mampu mengintip tanpa ikut menyapa tetangga baru itu. Sebagai perempuan, hari itu ia merasa menjadi makhluk yang serba tak bisa. Di hadapan suami, tentu nilainya berasa rendah sekali.
Apa yang harus ia lakukan sekarang?
Rumah begitu sepi karena hanya ada dua penghuni di sana, namun, salah satu nama belum juga kembali. Entah kemana Bujang selama empat hari ini. Tidur di kantorkah? Pulang ke dusunkah? Merantau ke luar kotakah? Mina pun mulai memikirkan ulang apakah perkataannya menyentuh harga diri Bujang. Tidak ada satu pun kawan yang tahu dimana posisi lelaki itu, dan meski Mina benar-benar merindukannya dan ingin bertemu, sudah siapkah ia bila Bujang pulang dengan seorang istri baru nanti?
Mina memang tak bisa memiliki seorang anak, namun misal diberi satu permintaan oleh sang Hyang, maka Mina ingin kembali ke hari ketika ia meminta Bujang untuk menceraikan dirinya. Bohong kalau ia sendiri tidak mencintai Bujang. Ia masih mencintainya yang karenanya bagi Mina, prinsip yang ia pegang kalau melepaskan berarti sebuah kesanggupan, mengabur menjadi kebodohan. Perempuan itu diam-diam menyesal. Sekarang, Mina malah menatapi pagar rumahnya. Ia berharap kalau-kalau Bujang pulang, dan datang sendirian.
Meski kalender menunjukkan pergantian angka, bulan mati itu masih ada di atas kepala Mina. Namun, sebagaimana Mina percaya bahwa kehidupan manusia memiliki rotasinya sendiri-sendiri; mengitari satu hal yang tak bisa lepas sebagaimana bulan memutari buminya, ia percaya nasib atas perjalanan yang diberikan oleh sang hyang kepada Mina nanti akan menunjukkan pergantiannya.
*****
Bujang pasrah saja. Daun Sungkai muda yang segar dari dusun dan telah dimasukkannya ke dalam karung berhamburan mengurapi jalan raya. Padahal, daun itu akan ia bawa pulang dan direbus nanti. Ia teringat Mina yang secara rutin menegaknya. Bujang akan ikut meminum sekalipun rasanya pahit sekali dan hal itu tidak berarti apa-apa bagi kejantanannya nanti. Ini bukti bahwa ia masih sangat mencintai perempuan tersebut. Mendengar keputusan kemarin membuatnya menjauh sejenak, tak lebih agar ia dan Mina dapat berpikir lebih terang.
Kepala Bujang kini tengadah menghadap ke langit, memperhatikan Bulan yang tenggelam dalam pandangan. Langit muram sekali. Angin malam yang dingin tak mengacuhkan kehadiran beberapa petugas. Ada yang menulis di sebuah buku catatan, ada yang mengatur tempat kejadian perkara, ada yang memotreti badan Bujang yang kehilangan daya karena tergolek di pinggir jalan Lintas Sumatera. Sebuah kecelakaan baru saja mematahkan kedua lengannya. Kini supir mobil yang menabrak motornya lari entah kemana.
(Cerpen ini dimuat di koran Tanjungpinang Post, edisi 28 Agustus 2016)