Mina percaya bahwa kehidupan manusia memiliki rotasinya sendiri-sendiri; mengitari satu hal yang tak bisa lepas sebagaimana bulan memutari buminya. Nasib, atas perjalanan yang diberikan oleh sang hyang kepada manusia kadang benderang macam purnama, kadang gelap setengah badan, atau seperti yang ia hadapi selama beberapa waktu ini; tepat dibawahi bulan yang redup penuh. Bulan mati namanya.
Malam itu, tepat ketika bulan tak menampakkan wujudnya sama sekali, ia benar-benar dalam keadaan putus asa. Bujang tak serta merta menerima keputusannya. Ia marah dengan membawa mimpinya yang berhasil Mina hancurkan. Ketika Mina menyatakan untuk menceraikannya saja, Bujang langsung membanting pintu, keluar dari rumah, tak pulang selama berhari-hari lamanya.
Mina pikir, keputusan itulah yang dapat memenangkan keadaan. Kini, Bujang benar-benar tak menghubunginya sama sekali perkara benar-benar tak menerima. Entah mungkin ia tak menerima usulan karena benar-benar mencintai Mina, atau mungkin Bujang sendiri yang tak mampu lagi menahan beban sebagai suami; suami dengan istri seorang perempuan yang sudah mati kesuburannya.
******
Berita itu sudah tersebar kemana-mana; lima tahun menikah, pasangan ini belum juga dikaruniai momongan. Tak jarang ada yang bertanya pihak mana yang mandul, mengapa masih melanjutkan hubungan meski nihil hasil, atau, tidakkah terpikir untuk menikah lagi saja. Keluarga mereka terutama, lidahnya macam tak dirantai, atau tak takut atas akibat dari sebuah pergunjingan. Meski maksud hati hendak memberikan kiat-kiat cepat hamil, namun tetap saja, itulah yang paling melukai perasaan Mina.
Siapa sih yang tidak mau punya anak?
Mina seringkali menghindari percakapan terutama ketika ada kesempatan berkumpul bersama. Bila sudah begini, ia memilih memotongi cabai, menggoreng kerupuk, menyapu dapur artinya mengerjakan apa-apa yang setingkat babu di dalam rumah. Atau, ia akan berpura-pura sakit ketika ada hajatan, dan lebih parah lagi, ia terpaksa berpura-pura lupa bila ada undangan dari sebuah keluarga.
Meski puluhan kali Bujang bercerita tentang mimpinya kepada orang-orang,- ia mendaki gunung lantas duduk di tepi kawah, merentangkan kedua tangannya lantas memangku bulan yang turun dari langit-, dengan mata berbinar setelah dengan kecewa mendengar hasil tes dari tiga dokter sekaligus, ini tak pernah cukup untuk mengurangi tekanan. Karena Bujang membangun kepercayaan diri dengan mempercayai hal yang mustahil, membuat Mina berpikir rasian memiliki arti berbeda sehubungan dengan keadaan mereka sekarang. Rembulan yang jatuh kepangkuan suaminya itu mungkin memang perwujudan manusia, namun keadaannya tidak seterang seorang bayi. Ia bulan mati yang kalah cahaya; benda bulat yang renta dan beban.
Tentu saja ada usaha. Tidak memperoleh hasil memuaskan dari kacamata sains, Mina pernah mendatangi seorang dukun peranakan. Nek Jumi; perempuan usia lima puluhan, bau kunyit, dan “bersertifikasi” alih-alih pernah ikut kerja dengan seorang bidan dan direkomendasikan oleh ibu-ibu di sebuah website yang ia kunjungi. Di tempat prakteknya di sebuah pondok kecil dekat persawahan, ia mengurut sambil berceloteh tentang betapa tegangnya otot-otot betis Mina. “Suaminya nanti disuruh berhenti merokok. Kamu juga mbak, minum rebusan daun Sungkai[1]ketika haid.”
Menuruti kemauan Nek Jumi dengan bertahan dari sakitnya pijitan berhari-hari lamanya, beberapa minggu kemudian Mina mual-mual dan perutnya terasa membesar. Mina dan Bujang menuju rumah sakit hari itu juga. Gembira luar biasa hati mereka. Sepulangnya nanti, mereka bahkan berencana merunut nama-nama melayu yang cocok untuk si calon bayi. Namun, senyum mereka tak bertahan lama. Hasil USG tidak memberikan kesenangan apa-apa. Jangankan hamil anggur, ujar dokter, perut Mina hanya kembung saja.
Mina langsung meminta Bujang membeli lima batang test pack di toko obat dan membawa Nek Jumi ke rumah, berapa pun biayanya. Sesampainya di rumah, patah hatinya menjadi dua; mendapati hanya ada satu garis merah di kelima benda tersebut, ditambah kabar duka bahwa Nek Jumi hari itu meninggal dunia.