*dimuat di Flores Sastra edisi 15 Juli 2016
Aku tidak tahu mengapa duniamu bisa punya lebih dari dua belas warna, Bujang. Mengapa dapat merupa sedemikian jamak? Apakah mereka ada di kehidupanku selama ini, namun terlewat saat menghitungnya? Atau katakanlah karena aku yang hanya lulusan sekolah dasar, tak lancar bacaan doa, dan lancar hitung sebatas jari namun tak pandai bagi dan kali. Sehingga, tak pandai pula aku membedakan mana-mana yang halal untuk kumasukkan, kulepaskan, sampai dilipatgandakan jumlahnya dalam kehidupan ini.
teori tentang dua belas warna itu hanya kukenali dari warna yang berjejer pada kotak kelir semasa sekolah dulu, yang sama rendah kualitasnya dengan kertas gambar wadah aku menggoreskannya. Memang, warna-warna muram itu lah yang mewujudkan imajinasi diniku tentang hidup yang dilayani dalam istana bak seorang puteri, mimpi-mimpi yang mengejawantahkan isi kepala anak usia tujuh yang sesungguhnya bingung membedakan mana nyata mana fiksi. Nyatanya, menjadi dewasa mengajarkanku untuk memahami bahwa kehidupan hanya memiliki warna-warna yang sangat terbatas.
Dunia sudah mengalami perubahan seperti kita. Atau duniakah yang mengubah kita? Kita tak lagi hidup dalam otak anak-anak yang hanya paham dua belas warna. Duniaku dan duniamu sangat berbeda. Sehingga terang saja, mana paham aku dengan teori majemukmu itu. Duniaku adalah dunia yang tak terbayangkan hanya dengan menutup mata. Sebuah dunia yang ekor kunang-kunang dikalahkan oleh lampu-lampu pesta. Dunia yang mengejar kata megah. Dunia yang hanya akrab pada dua warna dimana akan terpilih warna penentu akhir saat aku meniadakan satu di antara mereka. Inilah dunia yang aku tinggali dan tak dapat kutinggal lari lagi, Bujang, dimana putih ada, namun hitamlah yang mendominasi.
******
Sebagai manusia yang jauh dari kata simpati, tujuh tahun aku hidup sebagai budaknya lelaki. Aku tak berani meminta mati. Meminta mati hanya untuk orang-orang buta yang tidak memiliki warna dalam hatinya, atau orang-orang serakah yang memilih mengawinkan kedua warna itu karena tak mau memilih; mereka terjebak dalam abu-abu yang salah. Sementara aku masih memiliki kesempatan. Mataku masih sehat meski kesalahanlah yang sudah kubuat karenanya.
Aku kira hitam yang baik dipilih, namun aku tersadar begitu putih masih bisa berbisik kecil. Aku menyadari keberadaannya ketika melayani seorang pejabat eselon puncak, sejatinya pemegang amanah rakyat, namun pengerat seperti mereka yang melarat. Saat usai kami menyatu dalam hangat, kecapaian mengarungi permainan dengan nafas yang terburu-buru, dalam kata ia membangun dinding keakuannya, “Hei, manis, bayangkan, mengapa anak pemulung tak pakai baju? Karena mereka rendah! Kau pun sama telanjangnya dengan mereka. Kalau tanpa uangku, kau persis bangkai mati hanya karena terinjak paku!”
Munafik. Padahal anjing itu lah yang mengulangi bangkai; anjing itu suka bangkai tak pakai baju.
Entah sejak kapan aku memikirkan tentang harga diri, sampai ketika mendengar rayuan menjijikan itu terasa sangkak bulu romaku. Aku mengatakan lebih baik ia berhenti menjadi pelanggan dan tak usah lagi bersua. Kuajukan alasan tentang kekalahannya di ranjang dengan seorang pelanggan yang lebih hebat, lebih kuat, dan lebih berpangkat (yang tentu saja tak punya martabat karena di mata malaikat dan kelak gegap suara para pelayat, timbangan kirinya tetaplah paling berat!). Aku macam terbangun dari tidur panjang karena keracunan bisa; jiwaku kerontang tak bersisa. Aku tak ingin terlalu akrab lagi, pada hitam pekat yang moksa dalam kehidupanku!
*****
Katanya ia hanya butuh pemuas rasa, ia akan bayar berapa. Kurasa, kepalaku terbentur saat melakukan permainan, sehingga besaran uang itu tak ada artinya sama sekali. Aku tak sudi menerimanya. Mendapati aku yang keras ingin dan meludahi lembar-lembar mata uang, ia pun mengambil hakku dalam memilih. Bayangkan, Bujang. Memilih. Aku bahkan belum tuntas memilih warnaku sendiri.
Ia menggiringku lebih dalam menjauhi yang putih, menjerumuskan aku ke dalam hitam yang tuli itu. Ia tarik rambutku lalu dibenturkannya berkali aku meratap. Katanya aku manusia pemamah sampah, Tak tahu diri. Sudah tahu hidup di kasta paling bawah, sok-sok berlaga hidup di puak yang berada.
Bujang, di duniamu, bagaimana seorang perempuan dapat bertahan? apakah perempuan di sana terlahir dari perut para lelaki? sementara mengapa perempuan di duniaku selalu berada dalam keadaan yang tidak berdaya? Karena hatiku ini bukan sekuat baja, maka salahkah bila aku melawan untuk mempertahankan kedudukanku sebagai manusia? Kutanak kesedihan yang ruah dalam satu waktu itu, terutama ketika kudapati ia menggelepar terkapah-kapah, tengah meregang nyawa. Tak bolehkah? Bujang, aku bisa saja mati tanpa meninggalkan kata-kata ini untukmu, bila sebuah gunting tak segera kusarangkan ke dalam dadanya.
Aku tak lupa tujuh belas tahun yang terlewati itu, dimana kita tak saling menemukan dan terpisah pada dua dunia yang berbeda. Namun aku tak memiliki siapa-siapa lagi di dunia ini, Bujang. Oleh karena itu, aku berlari kepadamu, yang kebingungan karena masa lalu tiba-tiba hadir di muka rumahmu.
Memilih. Ah. Duniaku saja bukan aku yang memilih. Kemiskinan adalah akar permasalahan yang harus kuselesaikan dengan cara ini. Haruskah kusalahkan mengapa orang-orang sepertiku mau menjadi jongos, dipandang jijik karena kulit kami lebih hitam dan bau matahari, atau pasrahlah seperti aku karena terlampau sering jadi dagangan saat ada yang libidonya tak tertahankan?
Inilah dunia yang tak lebih dari dua belas warna itu, Bujang. Namun terlalu jauhkah langkahku sekarang? Benarkah yang dikatakan ia dan para lelaki yang tidur di ranjangku ini kalau aku tak punya hak untuk memilih, tak punya harga dan harusnya mati? Inikah alasan mengapa aku kehilangan kesepuluh warnaku yang lain?
*****
Tentangmu, ia menggenang di dalam kepala dan tak mengalir kemana-mana. Kubiarkan ia mendiami tempatnya agar kita tetap bersama meski dalam bayang. Apalagi sewaktu kecil dahulu. Ingatanku tentangmu masih utuh benar; tentang mimpi dan tekadmu untuk melakukan apapun untuk menghapuskan apa yang kau dapat dari kehidupan sebelumnya.
Serunting, ketika usiamu tujuh dan aku sembilan, di bawah tundan[1] dan bayangan awan, kau sendirilah yang berujar tentang betapa indah bila hidup dapat ditentukan berdasarkan warna yang dipilih. Dalam masa-masa itu, ketika kita melepas tawa dan menggambar sampai cemong seluruh tangan, aku tak paham bahwa keinginan terbesarmu adalah memusnahkan bapakmu sendiri, lelaki tukang kawin yang merampas identitasmu sebagai perempuan. Di kemudian hari, kau tak mampu lagi menahan kepedihan. Kau memutuskan untuk meninggalkan kota. Aku mencarimu dimana-mana, tali yang kita pegang sedari lama pun juga putus di tengah.
Hingga sekarang, namamu lah yang kujadikan sabda agar aku dapat selalu bersisian denganmu. Dalam hal ini, mungkin kau yang tak akan pernah paham bahwa sesungguhnya aku berharap kepastian akan hatimu; hatiku agar dapat izin untuk duduk nyaman di sana. Malam tadi, pertanyaan-demi-pertanyaan itu kusimpan rapat-rapat. Kuajukan hal yang lebih penting untukmu; hanya mereka yang berkasus besar yang bersangkutan dengan ilmuku. Padaku, kau tentu meminta perlindungan dan pembelaan agar bebas dari pidana. Maka saat kita berjarak hanya satu hasta aku lemparkan tanya agar bertambah pemahamanku, “warna apa yang sebenarnya telah kau pilih, Serunting?”
Kehidupan lekat pada ubah. Dunia kita tak sejajar bila harus dibandingkan dengan masa ketika hal tersulit adalah memilih warna apa untuk menggambar. Itu puluhan tahun lalu, dan kau terlanjur bersisian dengan kabar tentang pembunuhan di sebuah petak kamar kini, ”Ini dorongan lapar. Entah. Adilkah bila aku memilih satu warna saat keadaanku seperti ikan yang menggelepar?”
Ini bukan masalah kaya pilihan atau tidak. Warna kita bahkan berawal sama; dua belas warna saja. Ini semata seberapa benar kau memilih warnamu. Padamu, ada dua warna yang meminta untuk dipilih satu, maka pilihlah yang membuatmu utuh. Aku berada dalam barisan putih, Ajeng. Selamanya akan begitu. Selama ini memang hanya untukmu. Maka tahulah kau bahwa hitam tentu yang harus ditinggalkan.
Serunting, jangan lagi kau jerumuskan dirimu dalam payah. Masalah ini akan kita hadapi bersama. Kini, kau tak sendirian dalam melangkah. Perpisahan tujuh belas tahun itu sudah dihapus dengan kedatanganmu semalam. Aku pun senang karena meski jauh, kau yang menemukanku lebih dahulu dan mengekor perihal beritaku di media massa. Sungguh. Aku bahagia, meski mendapatimu menangis terisak-isak, membuatku laksana kertas yang dikoyak-koyak.
*****
Serunting, apakah kau tahu mengapa aku menguraikan ini? bahwa setiap insan akan kehilangan, namun tak jarang kembali menemukan. Ini tentang aku, kamu, dan warna-warna itu. Kita adalah orang-orang yang diberi berkah. Kini, kau aman berada di sisi dan kau pasti akan menemukan warna-warnamu dengan keteguhan hati. Tinggalkan hitam yang ngeri, jangan takut memilih putih. Kau memiliki hak untuk berbagi dan dibagi, untuk merasakan bahagia yang hakiki dan menjadi diri sendiri, terlepas dari apa dirimu dalam dunia prostitusi. Kau masihlah perempuan yang sama dengan mimpi, bahwa hidup memang tak hanya tentang pedih.
Serunting, yang kucintai jiwanya, dengarkanlah ini. Satu terkadang dapat lebih baik daripada dua atau belasan lebih. Ketahuilah,bahkan pelangi yang multi spektrumnya itu, berawal dan lahir dari cukup satu warna saja.
*****
[1] Bagian teras rumah panggung
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana
Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI