Mohon tunggu...
Dee Hwang
Dee Hwang Mohon Tunggu... penulis -

Seorang pencerita lokalitas; Pemain Biola di SAMS Chamber Orchestra Jogjakarta. (dee_hwang@yahoo.com)

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Tentang Dua Belas Warna

29 Juli 2016   14:31 Diperbarui: 29 Juli 2016   14:37 141
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Ia menggiringku lebih dalam menjauhi yang putih, menjerumuskan aku ke dalam hitam yang tuli itu. Ia tarik rambutku lalu dibenturkannya berkali aku meratap. Katanya aku manusia pemamah sampah, Tak tahu diri. Sudah tahu hidup di kasta paling bawah, sok-sok berlaga hidup di puak yang berada.

Bujang, di duniamu, bagaimana seorang perempuan dapat bertahan? apakah perempuan di sana terlahir dari perut para lelaki? sementara mengapa perempuan di duniaku selalu berada dalam keadaan yang tidak berdaya? Karena hatiku ini bukan sekuat baja, maka salahkah bila aku melawan untuk mempertahankan kedudukanku sebagai manusia? Kutanak kesedihan yang ruah dalam satu waktu itu, terutama ketika kudapati ia menggelepar terkapah-kapah, tengah meregang nyawa. Tak bolehkah? Bujang, aku bisa saja mati tanpa meninggalkan kata-kata ini untukmu, bila sebuah gunting tak segera kusarangkan ke dalam dadanya.

Aku tak lupa tujuh belas tahun yang terlewati itu, dimana kita tak saling menemukan dan terpisah pada dua dunia yang berbeda. Namun aku tak memiliki siapa-siapa lagi di dunia ini, Bujang. Oleh karena itu, aku berlari kepadamu, yang kebingungan karena masa lalu tiba-tiba hadir di muka rumahmu.

Memilih. Ah. Duniaku saja bukan aku yang memilih. Kemiskinan adalah akar permasalahan yang harus kuselesaikan dengan cara ini. Haruskah kusalahkan mengapa orang-orang sepertiku mau menjadi jongos, dipandang jijik karena kulit kami lebih hitam dan bau matahari, atau pasrahlah seperti aku karena terlampau sering jadi dagangan saat ada yang libidonya tak tertahankan?

Inilah dunia yang tak lebih dari dua belas warna itu, Bujang. Namun terlalu jauhkah langkahku sekarang? Benarkah yang dikatakan ia dan para lelaki yang tidur di ranjangku ini kalau aku tak punya hak untuk memilih, tak punya harga dan harusnya mati? Inikah alasan mengapa aku kehilangan kesepuluh warnaku yang lain?

*****

Tentangmu, ia menggenang di dalam kepala dan tak mengalir kemana-mana. Kubiarkan ia mendiami tempatnya agar kita tetap bersama meski dalam bayang. Apalagi sewaktu kecil dahulu. Ingatanku tentangmu masih utuh benar; tentang mimpi dan tekadmu untuk melakukan apapun untuk menghapuskan apa yang kau dapat dari kehidupan sebelumnya.

Serunting, ketika usiamu tujuh dan aku sembilan, di bawah tundan[1] dan bayangan awan, kau sendirilah yang berujar tentang betapa indah bila hidup dapat ditentukan berdasarkan warna yang dipilih. Dalam masa-masa itu, ketika kita melepas tawa dan menggambar sampai cemong seluruh tangan, aku tak paham bahwa keinginan terbesarmu adalah memusnahkan bapakmu sendiri, lelaki tukang kawin yang merampas identitasmu sebagai perempuan. Di kemudian hari, kau tak mampu lagi menahan kepedihan. Kau memutuskan untuk meninggalkan kota. Aku mencarimu dimana-mana, tali yang kita pegang sedari lama pun juga putus di tengah.

Hingga sekarang, namamu lah yang kujadikan sabda agar aku dapat selalu bersisian denganmu. Dalam hal ini, mungkin kau yang tak akan pernah paham bahwa sesungguhnya aku berharap kepastian akan hatimu; hatiku agar dapat izin untuk duduk nyaman di sana. Malam tadi, pertanyaan-demi-pertanyaan itu kusimpan rapat-rapat. Kuajukan hal yang lebih penting untukmu; hanya mereka yang berkasus besar yang bersangkutan dengan ilmuku. Padaku, kau tentu meminta perlindungan dan pembelaan agar bebas dari pidana. Maka saat kita berjarak hanya satu hasta aku lemparkan tanya agar bertambah pemahamanku, “warna apa yang sebenarnya telah kau pilih, Serunting?”

Kehidupan lekat pada ubah. Dunia kita tak sejajar bila harus dibandingkan dengan masa ketika hal tersulit adalah memilih warna apa untuk menggambar. Itu puluhan tahun lalu, dan kau terlanjur bersisian dengan kabar tentang pembunuhan di sebuah petak kamar kini, ”Ini dorongan lapar. Entah. Adilkah bila aku memilih satu warna saat keadaanku seperti ikan yang menggelepar?”

Ini bukan masalah kaya pilihan atau tidak. Warna kita bahkan berawal sama; dua belas warna saja. Ini semata seberapa benar kau memilih warnamu. Padamu, ada dua warna yang meminta untuk dipilih satu, maka pilihlah yang membuatmu utuh. Aku berada dalam barisan putih, Ajeng. Selamanya akan begitu. Selama ini memang hanya untukmu. Maka tahulah kau bahwa hitam tentu yang harus ditinggalkan.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun