Mohon tunggu...
Dee Hwang
Dee Hwang Mohon Tunggu... penulis -

Seorang pencerita lokalitas; Pemain Biola di SAMS Chamber Orchestra Jogjakarta. (dee_hwang@yahoo.com)

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Mamak

3 Juli 2016   10:08 Diperbarui: 3 Juli 2016   10:25 107
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Cerpen. Sumber ilustrasi: Unsplash

*******

Bukan karena mamak tak fasih mendaraskan alquran, namun orang lanjut usia memang rentan sekali pikun. Meletakkan kunci, dompet, nama seseorang, sudah makan obat atau belum, pun seperti sekarang ini, ketika mamak memandang dengan pandangan menuntut; kedua tangannya menengadah, sementara kata-kata terhenti di ujung Bismillah. Mamak lupa doanya. Bila sudah begini, tugas saya untuk membimbingnya, kata demi kata niat berbuka puasa.

Mamak mereguk segelas air, mengunyah nasi sesuap demi sesuap. Sambil memandangi televisi yang menyiarkan adzan maghrib, Mamak mencuil lauknya sesekali. Sebenarnya saya tak tega, tak ada makanan kesukaan mamak di piring. Dokter bilang, tempoyak, daging sapi, makanan laut, tidak boleh jadi konsumsi. Demi kesehatannya, tumis jamur dan pindang mujair lah yang mengepul di atas meja.

Mamak tak menuntut, meski saya ingat di hari pertama ia keluar dari rumah sakit tiga bulan lalu,-perkara stroke ringan yang membuat saya hampir mati berdiri-, beliau tak sudi menyentuh tumisan oyong bikinan saya; tak enak, tak asin, tak menerbitkan selera. Oleh karenanya, saya belajar mengenal pekerjaan rumah tangga. Bau bawang dan amis lauk, sampai tangan panas karena menumbuki cabai adalah konsekuensi belajar mandiri. Saya pun belajar mengombinasikan menu, siapa tahu mamak bosan dan ngambek lagi, meski mungkin karena melihat kesungguhan saya mamak tak meminta macam-macam; akhir-akhir ini, mamak menurut saja pada apa yang saya buatkan.

*****

Di kota kecil inilah kami tinggal berdua, letaknya berjam-jam jam dari kota provinsi. Minimarket bukan barang baru, meski jumlahnya dapat dihitung jari. Toko buku, toko musik, toko elektronik, jauh dari kelengkapan. Tak ada mall, sehingga kalau ingin ngabuburit warga menghabiskan waktu di sungai. Bukan mencuci badan, melainkan memandang aliran dari tubir sungai atau atas jeramba, haha hihi sambil berfoto sana-sini.

Saya memperhatikan perkembangan selama setahun terakhir. Selama mudik, ia menunjukkan wajah yang baru; ada taman sepetak di jalan masuk kota, sekolah-sekolah berganti cat dan bertambah bangunan, lapangan bola di dekat rumah telah dipagar dengan kawat dan pohon perindang, warung internet yang menjadi tempat saya mengunduh lagu ditutup, rumah tetangga itu sudah dipugar menjadi tempat jual alat tulis, konter pulsa, dan bensin. Rumah saya pun sudah berubah. Ini menyangkut pekerjaan yang baru-baru ini telah  saya diselesaikan; cat dinding mengelupas karena pernah terendam banjir, plafon kelabu akibat rembesan hujan, kawat ventilasi berlubang, dua batang bougenvil depan rumah tinggal tunggul karena sudah tutup usia.

Selama jarum jam masih berputar, perubahan tak akan mangkir dari pandangan. Ada yang berubah menjadi baru, ada yang pasrah menjadi tua. Mamak pun sudah berubah. Dahulu, setelah Bak meninggal ketika saya berusia belasan, Mamak adalah perempuan aktif. Setiap pagi, mamak berangkut menakik karet untuk mengambil getahnya. Sore harinya, mamak berjualan kemplang dari pintu ke pintu. Kalau tidak, mamak akan bekerja musiman; menambal sarung dan mengisi bantal-bantal baru dengan randu.

Ia tak pernah bersedih. Bila harus, ia akan menghibur dirinya dengan menyanyi meski nada sumbang menempel di setiap lagu. Sekarang, jangankan begadang, mamak selalu tidur lebih sore dari saya. Jalannya membungkuk, nafasnya gampang sengal. Ditambah di dalam mulutnya yang tinggal geraham, lidahnya kaku memendek. Ketika berkata, mamak akan terdengar seperti anak kecil yang tak bisa ngomong er.

Di dalam perubahan inilah, Mamak tak lepas membicarakan kematian. Kau mungkin tak paham rasanya mendengarkan itu dari mulut satu-satunya orang tua. Ketika saya menemaninya tidur, mamak terbangun dan terkencing-kencing di atas kasur. Gemetaran, ia menceritakan sebuah mimpi; menaiki kereta api karena diajak seorang bayi yang pandai berbicara. Di stasiun itu, ia meninggalkan semua orang yang memanggil agar ia tidak pergi. “Mamak dak tahu itu anak siapa, mungkin malaikat Israil.” Ia terguguh, menjelaskan bahwa selama mimpi berlangsung, anak yang pandai bicara itu ada dalam gendongannya.

Mereka yang waham bahwa profesi yang saya pilih adalah kerja yang leha-leha, salah. Orang-orang yang bekerja di bidang berbeda mengatakan bahwa enak-enak saja karena kerjanya di rumah; baca kitab, sembahyang, nonton ceramah saja bisa disulap menjadi duit. Padahal, dalam keseharian, saya bekerja dengan sepenuh hati. Pun, saya harus selalu siap menghadapi sebuah kenyataan; kiamat kecil yang pernah melantakkan hidup saya belasan tahun lalu, dapat terjadi kapan saja.

Dalam ketakberdayaan semacam ini, saya memilih berdamai dengan ketentuan-Nya. Saya lepaskan kesempatan bekerja di kota dengan penghasilan melebihi seorang PNS. Namun saya tak sudi meninggalkan mamak seorang diri. Ia tak ingin pergi kecuali tinggal di kota yang sama dengan pusara Bak. Meninggalkan mamak dengan seorang yang dapat mengasuhnya? Apalagi gagasan semacam itu. Saya tak ingin ambil resiko. Kini, tahulah mengapa saya memilih profesi sebagai seorang penulis cerita khususnya islami. Ini profesi paling yang aman agar tak kehilangan kesempatan. Selain karena menulis adalah kemampuan saya, dengan takaran jam yang lebih sering saya pun dapat menyenangkan mamak, kapan pun.

*****

Lauk mujair di piring tinggal tulang. Sebentar lagi, Mamak pasti hendak melaksanakan tarawih di mushola depan. Untuk ini, mamak memang membuat saya takjub. Ia masih saja kuat menjalankan ibadah. Ia menjalani dengan penuh kesukaan meski jumlah obat yang dimunum tidak ada yang berubah, meski bisa saja ia batal karena kebelet kencing atau buang air lagi.

Saya memang takjub, namun tentu saja kali ini saya menahannya. Ketika mamak hendak mengambil wudhu, saya menjelaskan bahwa besok hari raya. Mamak melongo, entah senang-sedih karena harus berpisah dengan bulan kesayangannya.  Mamak memang tak ingat kalau tak diingatkan. Akhirnya, ia hanya tertawa pada kelupaannya.

Mamak bangkit menuju kamar tidur sambil mengepit sebuah buku; saya menyerahkannya sebelum berbuka puasa tadi. Meski mamak buta huruf, setidaknya ia tahu dan tak perlu takut pada mimpinya lagi. Saya telah membuatnya abadi melalui cara yang paling halal; di halaman persembahan buku saya yang ketiga itu, nama mamak terterah di sana.

*****

(Dimuat di Harian Nasional Amanah, edisi Sabtu, 2 Juli 2016)

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun