Kerap jatuh bangun di dunia niaga, tidak menyurutkan semangatnya. Pengalamannya di masa lalu menjadi pengingat bahwa selalu ada jalan untuk bangkit.
Namanya Suprianto. Pria kelahiran Tebing Tinggi, 2 Mei 1966 silam itu adalah satu-satunya warga lokal yang sukses jadi pengusaha tapioka. Di Serdang Bedagai, ia punya dua kilang tapioka dan lahan seluas 26 hektar. Ia juga punya ladang ubi dan sebuah rumah toko.
Meski sudah kaya-raya, penampilannya selalu sederhana. Ia bahkan kerap tak beralas kaki. Sehingga orang tak pernah menyangka, bahwa dibalik penampilan ‘rakyat jelatanya’ itu, ia memiliki harta jutaan rupiah.
Sore itu, mengenakan kemeja putih dipadu celana pendek, ia berkeliling memantau kinerja karyawannya. Ia melakukannya demi memastikan semua pekerjaan berjalan lancar.
Berkaki ayam, ia berkeliling kilangnya menyapa para karyawan. Rombongan jurnalis dari Medan, awalnya juga tak percaya kalau Suprianto adalah pemilik kilang tapioka itu. “Sejak buka usaha pada 2006 lalu,” kata Suprianto mulai berkisah, “Saya menjalankan manajemen usaha sendiri,”
Kini usahanya tengah mencapai puncak kejayaannya. Ia meraup laba sedikitnya Rp 50 juta perbulan. Di kilangnya, ia mempekerjakan sedikitnya 40 karyawan. Semuanya adalah warga setempat.
Jatuh-bangun
Sebelum merintis usaha tapioka, Suprianto sempat wara-wiri dunia dagang. Mulai dari buruh pacul, jualan sembako, hingga buka toko kelontong. Ia bahkan menghabiskan 12 masa mudanya bekerja di kilang tapioka milik orang lain.
Toko kelontongnya juga sempat satu-satunya toko terbesar (dan terlaris) di Sei Rampah. Namun gulung tikar dalam sekejap. Sebabnya, kurang perhitungan.
Suprianto mengira investasi di ubi jauh lebih menjanjikan. Sehingga ia nekat meminjam uang Rp 100 juta ke Bank. Pinjaman itu digunakan untuk usaha tanam ubi di ladangnya. Di saat bersamaan, ia mulai tidak fokus pada usaha kelontongnya. Dan ketika panen tiba, harga ubi dipasar anjlok hingga Rp 150 per kilo.
Anjloknya harga ubi menjadi bencana bagi Suprianto. Ia tak mampu menutupi utang. Usaha kelontongnya juga bangkrut. Suprianto pun kembali lagi jadi tukang pacul. Selama berbulan-bulan, ia menjadi buruh kasar di ladang ubi tetangganya.
Aktivitas itu dijalankannya, demi menenangkan pikirannya dari dampak psikologis atas kebangkrutnya. “Toko kelontong saya dijarah maling. Lalu saya bangkrut. Saya mulai dari nol lagi,” terangnya.
Mental pekerja yang tertanam sejak kecil membawa Suprianto kembali mencoba peruntungannya. Ia mengakhiri masa-masa sebagai buruh kasar. Ia bertekad untuk kembali bekerja mandiri. Ia kemudian menjual tanahnya seluas dua hektar. Hasil penjualan tanah itu digunakan untuk membuka kilang tapioka.
“Ketika masih kerja di kilang orang, saya selalu menabung. Uangnya kemudian saya gunakan beli tanah. Saya suka investasi di tanah,” bebernya.
Kebiasaan berinvestasi di tanah dilakoni Suprianto selama belasan tahun. Ide itu muncul ketika ia melihat kehidupan keluarganya yang sangat miskin. Lahir sebagai anak ketujuh dari 15 bersaudara, Suprianto terpaksa putus sekolah akibat ketiadaan biaya. Ia hanya mengenyam pendidikan dasar.
“Ayah saya juga kuli. Enggak sanggup menyekolahkan kami semua. Jadi saya pikir, kelak kalau saya menikah, saya tidak mau lagi kerja sama orang lain. Saya mau mandiri,” kenangnya.
Rupanya upah selama bekerja jadi buruh kasar mampu untuk membeli tanah belasan hektar. Untuk memulai usaha, Suprianto menjual dua hektar lahannya. Ia juga meminjam uang Rp 200 juta ke Bank Sumut, dengan agunan tanahnya.
Seorang teman baiknya juga mendukung dengan memasok ubi 10 ton per hari. Sejak itu, usaha kilang tapioka Suprianto langsung mendapat sambutan positif dari masyarakat.
Ia juga sedang memperluas ekspansi bisnisnya. Karena itu ia memperbesar pinjamannya hingga Rp 650 juta. Pinjaman itu demi mendongkrak angka produksi, sehingga permintaan pelanggannya semua bisa terpenuhi. Kini permintaan tapioka makin kentara.
“Prinsip saya menjaga mutu. Kalau mutunya bagus, pasti dicari orang,” ujarnya.
Dari 10 ton ubi, kata Suprianto, tujuh ton menjadi tapioka, sisanya ampas. Tapioka dan ampasnya itu kemudian didistribusikan ke wilayah Serdang Bedagai dan Medan.
Bermodalkan pengalaman dan jejaring, pemasaran tapiokanya tidak mengalami kesulitan. “Apalagi Suprianto itukan berjiwa sosial tinggi. Sehingga ia mudah diterima masyarakat. Ia rajin menyantuni lansia dan orangtua,” beber Sutrisno (40), tetangganya.
Sutrisno mengaku salut kepada Suprianto yang pekerja keras, pantang menyerah namun berkepribadian sederhana serta suka membantu orang lain. “Ia kerap tidur di kilangnya itu. Mungkin supaya usahanya tetap maju,” terangnya.
Bahkan, menurut Sutrisno, ia suka memperhatikan bagaimana Suprianto saban hari menjemur tapioka.
“Nanti pukul enam pagi ia sudah buka kilangnya. Pulangnya kadang sore, kadang malam,” sambungnya.
Meski sudah kaya raya, Suprianto tetap rendah hati dan suka menolong sesama. Kepada karyawannya ia tak pernah telat membayar gaji yang layak, begitu juga bonus-bonus. Sekali setahun ia juga membawa karyawannya jalan-jalan bersantai ke luar kota. “Bahkan kalau ada yang sakit atau membutuhkan bantuan, Suprianto ini cepat sekali membantu,” beber Sutrisno
![Suprianto, pengusaha kilang tapioka di Sumut. foto oleh Dedy Hutajulu](https://assets.kompasiana.com/items/album/2016/06/20/suprianto-57677160b37e61e81ec00f61.jpg?t=o&v=770)
Salah satu kehebatan Supriantoadalah, ia mampu menjalankan usaha tapiokanya hingga mencapai kejayaan. Meski pendidikannya hanya sampai sekolah dasar (SD), itu ternyata tidak ukuran untuk meraih sukses.
Sejak tamat SD, Suprianto langsung terjun ke dunia kerja,sebagai tukang pacul hingga buruh kasar. Ia mencoba banyak pekerjaan. Hingga akhirnya kecantol di kilang tapioka milik orang Tionghoa.
Di sana ia bekerja selama 12 tahun, lalu akhirnya keluar karena ingin mandiri. Rupanya tekatnya untuk mandiri telah membawanya pada sekelabat sukses gemilang. Menurut Muhammad Ishak, Dosen Ekonomi Universitas Negeri Medan, keberhasilan Suprianto bukanlah karena pinjaman, melainkan dipengaruhi aspek psikologis dan manajemen.
“Modal itu nomor dua. Jika sudah ada rencana bisnis dan psikologis si peminjam sehat, usahanya pasti maju. Pinjaman dari bank efektif, jika usaha sudah ada, bukan dimulai dari nol,” kata Ishak.
Menyikapi rencana pemerintah mendorong sektor UMKM (Usaha Mikro, Kecil dan Menengah), Ishak menganjurkan, sebaiknya ada kerangka kerjasama antara pemerintah daerah dengan pihak bank.
Bahkan, Pemda harus bisa menggaransi pihak bank manakala terjadi kegagalan cicilan pembayaran dari pelaku UMKM. Pemerintah bisa mengevaluasi dan mengantisipasi hal tersebut dengan cepat.
Sebaiknya, usul Ishak lagi, UMKM diajarkan cara-cara manajemen. “Bank bisa bikin roadshow. Kerjasama BI dan Bank Sumut serta Pemda misalnya. Undang pelaku UMKM. Diskusi bersama mereka tentang cara mengakses perbankan dan bagaimana berbisnis,” pungkasnya.
Sebenarnya upaya mendorong UMKM terus maju turut didukung Bank Indonesia (BI). Surat edaran BI mewajibkan bank memberikan pinjaman kepada sektor riil/UMKM. Kewajiban pencapaian rasio kredit dilakukan bertahap.
“Pada 2015, rasio kredit paling rendah lima persen dari total kredit tersalur.Sedang 2016 minimal 10 persen, 2017 minmal 15 persen dan 2018 minimal 20 persen,” kata Analis Manajer Unit Komunikasi dan Layanan Publik, Bank Indonesia-Sumatera Utara, Aegina Surbakti.
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana
Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI