Aktivitas itu dijalankannya, demi menenangkan pikirannya dari dampak psikologis atas kebangkrutnya. “Toko kelontong saya dijarah maling. Lalu saya bangkrut. Saya mulai dari nol lagi,” terangnya.
Mental pekerja yang tertanam sejak kecil membawa Suprianto kembali mencoba peruntungannya. Ia mengakhiri masa-masa sebagai buruh kasar. Ia bertekad untuk kembali bekerja mandiri. Ia kemudian menjual tanahnya seluas dua hektar. Hasil penjualan tanah itu digunakan untuk membuka kilang tapioka.
“Ketika masih kerja di kilang orang, saya selalu menabung. Uangnya kemudian saya gunakan beli tanah. Saya suka investasi di tanah,” bebernya.
Kebiasaan berinvestasi di tanah dilakoni Suprianto selama belasan tahun. Ide itu muncul ketika ia melihat kehidupan keluarganya yang sangat miskin. Lahir sebagai anak ketujuh dari 15 bersaudara, Suprianto terpaksa putus sekolah akibat ketiadaan biaya. Ia hanya mengenyam pendidikan dasar.
“Ayah saya juga kuli. Enggak sanggup menyekolahkan kami semua. Jadi saya pikir, kelak kalau saya menikah, saya tidak mau lagi kerja sama orang lain. Saya mau mandiri,” kenangnya.
Rupanya upah selama bekerja jadi buruh kasar mampu untuk membeli tanah belasan hektar. Untuk memulai usaha, Suprianto menjual dua hektar lahannya. Ia juga meminjam uang Rp 200 juta ke Bank Sumut, dengan agunan tanahnya.
Seorang teman baiknya juga mendukung dengan memasok ubi 10 ton per hari. Sejak itu, usaha kilang tapioka Suprianto langsung mendapat sambutan positif dari masyarakat.
Ia juga sedang memperluas ekspansi bisnisnya. Karena itu ia memperbesar pinjamannya hingga Rp 650 juta. Pinjaman itu demi mendongkrak angka produksi, sehingga permintaan pelanggannya semua bisa terpenuhi. Kini permintaan tapioka makin kentara.
“Prinsip saya menjaga mutu. Kalau mutunya bagus, pasti dicari orang,” ujarnya.
Dari 10 ton ubi, kata Suprianto, tujuh ton menjadi tapioka, sisanya ampas. Tapioka dan ampasnya itu kemudian didistribusikan ke wilayah Serdang Bedagai dan Medan.
Bermodalkan pengalaman dan jejaring, pemasaran tapiokanya tidak mengalami kesulitan. “Apalagi Suprianto itukan berjiwa sosial tinggi. Sehingga ia mudah diterima masyarakat. Ia rajin menyantuni lansia dan orangtua,” beber Sutrisno (40), tetangganya.