Mohon tunggu...
Dedy Gunawan
Dedy Gunawan Mohon Tunggu... Freelancer - Suami dari seorang istri yang luar biasa dan ayah dari dua anak hebat.

Penulis, blogger, jurnalis, senimanmacro, fotografer, penikmat kuliner, traveler, guru, pelatih menulis, dan penyuka segala jenis musik.

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Artikel Utama

Pentingnya Literasi Cegah Kelatahan Sebar Foto Sadis

18 Mei 2016   10:27 Diperbarui: 18 Mei 2016   17:47 411
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Petugas gabungan mengangkat kantong berisi jenazah korban banjir bandang, di Sibolangit, Deli Serdang, tempo hari. Foto oleh Irsan Mulyadi jurnalis LKBN ANTARA.

Untuk kejadian-kejadian seperti kecelakaan, ledakan, pembunuhan dan bencana, foto-foto korban idealnya disensor (diblurkan), supaya tidak menimbulkan kengerian. Sayangnya, di zaman internet ini, media sosial kerap beralih fungsi sebagai ruang diskusi menjadi lapak siar foto-foto sadis. Ini anomali kita sebagai bangsa berbudaya luhur.

***

DI ANTARA patahan-patahan kayu gelondong, sesosok tubuh lelaki bugil tersangkut di satu pokok. Posisinya bak kelelawar tidur, dengan kepala menggantung. Mata bengkak dan membiru. Jejak darah di atas batu-batu cadas, di bawah jurang begitu kentara. Tak jauh dari lokasi itu, dari dalam lumpur, petugas Basarnas mengangkat satu tubuh perempuan berbadan gemuk yang telanjang bulat. Dua kejadian itu terekam dalam foto tanpa sensor.

Dua foto itu membuat saya bergidik. Tubuh saya bergetar. Yang terbayang dalam pikiran saya bagaimana jika keluarga korban melihat foto tersebut. Betapa terpukul batin mereka. Tentu saja tak mudah untuk menenangkan hati yang bergemuruh dilanda duka nestapa. Perlu waktu bertahun-tahun untuk memulihkannya. Dan butuh tekad besar bagi keluarga korban untuk bisa berdamai dengan dirinya.

Tanpa foto pun sejumlah media telah menyiarkan lewat berita bahwa gelombang air bandang yang menggulung puluhan mahasiswa di Sibolangit. Kata-kata, menurut saya, tidaklah terlalu papa untuk melukiskannya. Kalaupun ingin lebih meyakinkan, foto-foto yang ditayangkan mustilah menunjukkan sisi kemanusiaan supaya hasilnya mampu menggelitik sisi terdalam kita, menumbuhkan empati lalu melahirkan gerakan solidaritas untuk korban.

Latah

Sayangnya, foto-foto sesadis kisah di muka, malah berseliweran di media sosial, dibagikan ribuan kali dan dalam hitungan detik telah menjadi viral, bagai virus. Lebih menyedihkan lagi, foto demi foto malah mendapat ribuan jempol dari netizen, tak jelas maknanya: apakah mendukung atau tidak. Semua jadi abu-abu. Saya jadi bergidik, apakah netizen sudah tak lagi merasakan kengerian saat melihat foto itu, seperti saya alami? Apakah mereka tak lagi kebas akibat keseringan menyaksikan foto-foto seperti itu. Atau jangan-jangan di antara kita sudah banyak yang mati rasa.

Betul, kata sejumlah fotografer, seeing is believing. Namun dalam kondisi tertentu, seperti bencana, pengambilan gambar dan penyiarannya perlu mengindahkan etika. Sebuah foto yang mau ditayangkan, tidak boleh menimbulkan kesan sadis atau mengerikan. Foto ceceran darah, tubuh yang koyak, badan yang terekspos telanjang, atau semburat usus harus dihindari tayang karena sangat tidak etis. Nah, untuk mengantisipasinya, (itu pun jika terpaksa harus memakai foto tersebut), tubuh korban wajib disensor alias diblurkan. Sebisa mungkin diberi efek hitam-putih. Ini semata-mata hanya untuk menunjukkan kepada publik bahwa fakta kejadian itu ada tanpa harus mengguncang psikologis pembaca.

Melihat fenomena para netizen mengunggah foto-foto sadis bahkan ikut menyebarluaskannya, saya menuding generasi kita begitu latah dengan kamera. Dan tidak punya pertimbangan matang akan apa yang dibagikan di medsos. Ini tentu saja dampak buruk koran-koran kuning yang telah bertahun-tahun mereka baca. Ini juga bentuk lemahnya keterampilan literasi generasi kita. Kemampuan memahami situasi, memaknai sebuah kejadian, menyintesa pengalaman dan pengetahuan serta memilah informasi yang berguna adalah keterampilan yang tak lagi digandrungi generasi kita.

Generasi kita tumbuh menjadi manusia pembebek, ikut arus dan doyan hal-hal instan. Generasi kita mulai tumpul nalarnya dan padam hatinya. Generasi kita telah mengidap sindrom "ikut-ikutan". Ini kegagalan pendidikan kita di kelas. Pembelajaran di kelas-kelas sekolah kita mulai abai pada urusan kearifan. Pada urusan menghargai hak-hak orang lain, pada upaya membangun empati dan toleransi. Sistem pembelajaran kita kadang hanya kejar target. "Kita lupa membangun nilai," kata Syawal Gultom, Rektor Unimed.

LIterasi

Kejadian-kejadian serupa kecelakaan, gempa bumi, ledakan, dan banjir yang menimbulkan kengerian kerap disorot secara bebas tanpa proses sunting, telah mewarnai media massa kita. Ruang redaksi juga mulai melnaggar batas batas etika jurnalistiknya. Mereka seperti kehilangan kejernihan berpikirnya. Celakanya, para guru sebagai anjing penjaga gerbang pendidikan turut ambil andil memperkeruh suasana. Sebagian dari mereka tidak cermat membaca dan mahami situasi beginian. Sehingga anak didik mengonsumsi berita dari berbagai sumber, tanpa saringan. Anak-anak menjadi korban telan mentah-mentah informasi yang beredar bebas. Akibatnya, generasi kita menjadi tumpul daya nalarnya.

Maka tak ada jalan lain, agar penumpulan pola pikir ini tidak berlanjut, tiga cara harus kita tempuh. Pertama, netizen hentikan mengunggah foto-foto sadis dan menyiarkannya. Kedua, media massa kembali ke fitrahnya sebagai media edukasi yang cerdas, profesional, dan bermartabat. Terakhir, mari kita semua sama-sama terlibat dalam membangun gerakan literasi nasional, karena pendidikan, kata Anies Baswedan, mendikbud, adalah gerakan. Tentu, perjuangan membangun pola pikir jernih dan mengakar butuh proses panjang. Butuh energi besar dan kita harus bergandeng tangan. Dengan sehati sepikir dan bergandeng tangan, kita bisa bergerak.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun