Rahung memilih Hersri sebagai aktor utama juga dengan alasan yang sama sederhananya. “Saya kenal dia. Pribadinya menarik. Dia terlibat di Lekra. Ia rajin menulis. Karakternya kuat. Dan dia ingin kembali ke sana (Pulau Buru). Saya pikir kenapa tidak saya filemkan,” bebernya.
Saat sesi pemotretan, Rahung mendapati ternyata masih ada 150 eks tapol lagi yang bermukim di sana. Alasannya macam-macam, ada yang ditolak keluarganya karena dianggap aib, lainnya, tak punya keluarga, ada yang sudah tak kuat pulang kampung. Sayang, di filem itu, gedung kamp tahanan tak tampak karena sudah ditutup sejak 1979. Kamp itu bahkan sudah diratakan dengan tanah untuk menghilangkan jejak-jejak sejarah.
Hersri adalah satu dari 110.000 tahan politik lain yang tak pernah diadili. Mereka diculik ketika masih berumur 18-25 tahun. Di usia itu, mereka telah tercoreng namanya menjadi tahanan tanpa diketahuia apa kesalahannya. Mereka sengaja dibungkam rezim kala itu yang terlalu takut akan hadirnya demokrasi. Mereka diangkut dalam beberapa gelombang. Satu gelombang sekitar 800 orang.
Hersri, dkk dipaksa bekerja di tanah yang tak pernah mereka bayangkan. Mereka inilah yang menghuni 21 barak. Mereka tidur seperti ikan rebus. Rezim secara keji telah menerabas satu generasi kaum muda yang sesungguhnya paling tegar dan demokratis. Namun Hersri, setelah melewati masa-masa sulit itu, ia hanya meminta Negara mau meminta maaf. “Kami ingin negara meminta maaf. Karena kami tidak bersalah. Itu saja,”
Tapi, permintaan maaf tidak mungkin keluar dari mulut tanpa adanya pengakuan dari dalam hati. Pengakuan inilah yang sampai hari ini belum melabur di hati pemerintah. Karena dengan mengakjui, tentu saja ibarat mengorek-orek borok lama yang sangat bau. Dan pemerintah lebih memilih memelihara borok itu, ketimbang menyembuhkannya. Sebabnya, sifat paranoid sudah sampai ke ubun-ubun.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H