KANTOR sekretariat AJI Jogyakarta digeruduk polisi. Tujuannya, untuk menghentikan pemutaran filem “Pulau Buru Tanah Air Beta.” Tak jelas apa dasarnya. Para jurnalispun geram. “Polisi cuci tangan!” teriak mereka. Malam itu, kebencian pun memuncak.
Filem besutan Rahung Nasution gagal tayang, bukan kali itu saja. Sebelumnya filem tersebut juga dilarang tayang di Jakarta, juga tanpa alasan yang jelas. Di daerah lain juga sebelas-dua belas. Hanya di Medan, filem ini tayang mulus tanpa penolakan. Lantas kenapa filem tersebut ditolak? Ada dugaan, filem ini berbau propaganda. Filem ini bahkan disebut-sebut bagian dari kampanye hitam untuk membangkitkan ideologi komunis. Benarkah begitu?
Sebagai sebuah medium, filem tentu saja alat kampanye yang efektif. Bahkan jamak menjadi alat propaganda. Tak heran, pertarungan ide kerap dilakukan lewat filem, sepasti filem-filem barat yang selalu menunjukkan kedigdayaannya dari bangsa lain. Bahkan Negeri Tiongkok juga telah lama membuat filem yang menandingi filem-filem Amerika.
Namun, sebagai sebuah filem, terlalu premature menilai “Pulau Buru tanah Air Beta” sebagai alat kampanye ideologi komunis, jika belum menontonnya. Lebih tidak fair, menolak mentah-mentah pemutarannya, tanpa alasan kuat. Saya melihat fenomena ini sebagai bukti mekarnya sifat paranoid bangsa ini kepada filem yang justru punya edukasi sejarah yang tinggi. Kita ibarat kodok di dalam tempurung.
Kita selalu bicara, bangsa besar adalah bangsa yang menghargai sejarahnya. Tapi filem dokumenter Pulau Buru saja kita tolak dengan alasan yang dibuat-buat. Bahkan sifat paranoid itu, ditunjukkan secara terang-terangan oleh pihak tertentu dengan menyita buku-buku bergambar palu dan arit. Seakan-akan segala yang berbau palu dan arit adalah hantu yang harus dibasmi. Palu dan arit dicap bagai dua sejoli yang tertaut cinta terlarang. Tapi di lain sisi, kita menyuburkan filem-filem sekelas sinetron yang tak mendidik.
Usahlah geram dengan filem “Buru Tanah Air Beta.” Bagusnya, tonton saja. Tak ada yang keliru di sana. Saya malah curiga, jangan-jangan yang menolak itu, sedang cemburu dengan Rahung, karena bisa bikin filem. Tapi diam-diam telah menontonnya di rumah masing-masing, sambil menyerubut kopi.
Saya sarankan untuk menontonnya, karena saya sudah lebih dulu mengikuti pemutarannya di Medan. Saya bisa garansi, tidak ada isu komunisme. Tak secuil pun. Filem ini ceritanya sederhana. Berkisah tentang satu bekas tahanan politik (tapol) bernama Hersri Setiawan (umur 70 tahun), menapaktilasi Pulau Buru, daratan kedua terbesar setelah Pulau Seram, yang berada di dekat Sulawesi Tengah.
Di situ, Rahung menarasikan bagaimana Hersri ikut memboyong putrinya, bernama Ita Ita ke Pulau Buru. Hersri yang makin uzur meniatkan bisa melihat lagi Pulau Buru, sebauh daratan yang telah membekaskan banyak kepahitan dalam hidupnya. Sekalian, ia mau bersilaturahim dengan eks tapol lainnya yang masih berdiam di sana. Jua menziarahi kuburan Heru, rekan sebaraknya.
“Filem ini saya bikin, tidak ada sisi penindasannya. Sengaja. Kalau mau tau detil penindasannya, baca bukunya Pram berjudul Nyanyian Sunyi. Di situ lengkap kok,” kata Rahung saat kami mengobrol di bawah pokok mangga, di kafe Boogie, Jalan Sei Belutu, Medan, Sumut. Cahaya remang-remang mewarnai suasana diskusi kami.
Menurut Rahung, filem ini dibikin sederhana dengan maksud menunjukkan sekeping informasi yang patut diketahui publik. Ia percaya, bahwa dirinya hanya bisa mengetahui secuil kepingan sejarah. Sedang kepingan lain milik orang lain. Ia berharap, publik yang menonton filemnya tertarik dan tergerak untuk mengumpulkan keping lainnya, supaya generasi berikutnya bisa menyatukannya menjadi sejarah yang lebih utuh.
“Selama ini, sejarah yang kita ketahui cuma versi rezim yang berkuasa. Itulah kebenaran, sesuatu yang telah dipelintir. Kebenaran sesungguhnya sengaja dikubur untuk menutupi banyak borok,” terang Rahung.
Rahung memilih Hersri sebagai aktor utama juga dengan alasan yang sama sederhananya. “Saya kenal dia. Pribadinya menarik. Dia terlibat di Lekra. Ia rajin menulis. Karakternya kuat. Dan dia ingin kembali ke sana (Pulau Buru). Saya pikir kenapa tidak saya filemkan,” bebernya.
Saat sesi pemotretan, Rahung mendapati ternyata masih ada 150 eks tapol lagi yang bermukim di sana. Alasannya macam-macam, ada yang ditolak keluarganya karena dianggap aib, lainnya, tak punya keluarga, ada yang sudah tak kuat pulang kampung. Sayang, di filem itu, gedung kamp tahanan tak tampak karena sudah ditutup sejak 1979. Kamp itu bahkan sudah diratakan dengan tanah untuk menghilangkan jejak-jejak sejarah.
Hersri adalah satu dari 110.000 tahan politik lain yang tak pernah diadili. Mereka diculik ketika masih berumur 18-25 tahun. Di usia itu, mereka telah tercoreng namanya menjadi tahanan tanpa diketahuia apa kesalahannya. Mereka sengaja dibungkam rezim kala itu yang terlalu takut akan hadirnya demokrasi. Mereka diangkut dalam beberapa gelombang. Satu gelombang sekitar 800 orang.
Hersri, dkk dipaksa bekerja di tanah yang tak pernah mereka bayangkan. Mereka inilah yang menghuni 21 barak. Mereka tidur seperti ikan rebus. Rezim secara keji telah menerabas satu generasi kaum muda yang sesungguhnya paling tegar dan demokratis. Namun Hersri, setelah melewati masa-masa sulit itu, ia hanya meminta Negara mau meminta maaf. “Kami ingin negara meminta maaf. Karena kami tidak bersalah. Itu saja,”
Tapi, permintaan maaf tidak mungkin keluar dari mulut tanpa adanya pengakuan dari dalam hati. Pengakuan inilah yang sampai hari ini belum melabur di hati pemerintah. Karena dengan mengakjui, tentu saja ibarat mengorek-orek borok lama yang sangat bau. Dan pemerintah lebih memilih memelihara borok itu, ketimbang menyembuhkannya. Sebabnya, sifat paranoid sudah sampai ke ubun-ubun.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H