Mohon tunggu...
Dedy Gunawan
Dedy Gunawan Mohon Tunggu... Freelancer - Suami dari seorang istri yang luar biasa dan ayah dari dua anak hebat.

Penulis, blogger, jurnalis, senimanmacro, fotografer, penikmat kuliner, traveler, guru, pelatih menulis, dan penyuka segala jenis musik.

Selanjutnya

Tutup

Money

Tragedi Harga Jagung

12 April 2016   09:28 Diperbarui: 12 April 2016   09:48 192
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

[caption caption="Seekor ayam betina menjaga telur-telurnya. Ayam ini keluar dari kandangnya. Foto Oleh Dedy Hutajulu"][/caption]TINGGINYA harga jagung, triwulan akhir  2015 silam telah memusingkan ratusan pengusaha pakan ternak. Tak hanya itu, harga jagung yang meroket telah turut mematikan banyak pengusaha ternak ayam pedaging (broiler) dan petelur (layer) di sejumlah daerah. Salah satunya di Kabupaten Langkat Sumatera Utara.

Langkat hanya berjarak 35 Km dari Medan. Untuk sampai ke daerah ini bisa ditempuh dengan transportasi darat. Memakan waktu sekira satu jam, atau sekitar 15 menit kalau dari kota Binjai. Di kabupaten yang dipimpin Bupati Ngogesa Sitepu ini, seluruh para pengusaha ternak ayam pedaging secara mendadak gulung tikar. Biangnya, mahalnya harga jagung, sehingga para pengusaha ternak ayam tidak mampu membeli pakan. Mereka merasa rugi jika terus menjalankan usaha peternakannya.

Bisa dimaklumi, harga jagung pipil kering yang normalnya 2.700-Rp 3.200 telah mencapai Rp 5.300 (September 2015-Januari 2016). Selain harganya mahal, susah pula mendapatkannya di pasaran, karena  semakin langka. Harga jagung meroket, menurut sejumlah pengamat, sebagai akibat dari kebijakan Menteri Pertanian Amran Sulaiman yang sempat menahan impor jagung di tujuh pelabuhan. Penahanan impor jagung tersebut,  di satu sisi menyelamatkan nasib para petani jagung. Akan tetapi di sisi lain telah merugikan para pengusana pakan ternak dan peternak ayam.

***

Pagi itu, awal Januari 2016. Wandi, lelaki berusia 46 tahun itu sibuk memeriksa anak buahnya, memastikan seluruh ayam telah diberi makan dan seluruh barak kandang dibersihkan. Lelaki yang sudah dua dekade bekerja sebagai mandor itu harus selalu mengawasi kinerja 40 karyawan, di peternakan ayam milik majikannya, Yuntiang di Desa Padang Cermin, Langkat. Peternakan ini memelihara 88.000 ekor ayam petelur(layer).

Wandi menuturkan, saat ini bosnya mulai mengeluh tingginya harga jagung yang telah memukul naiknya harga sejumlah bahan baku. Celakanya, pasokan jagung juga sempat sulit ditemukan di pasaran. Akibatnya, mau atau tidak, para pengusaha ternak ayam terpaksa memberikan apa saja untuk mencukupi kebutuhan makanan ayam-ayamnya. “Kini ayam-ayam diberi pakan berupa kerak gorengan, kerak dari ayam goreng KFC dan mi yang kadaluarsa,” bebernya.

Konsumsi nutrisi yang drastis berkurang telah menurunkan produksi telur hingga masa yang cukup lama. Wandi menambahkan, karena semakin sering diberi pakan berupa kerak gorengan atau mi yang sudah kedaluwarsa, produktivitas ayam bertelur menurun dari 45 ikat menjadi 25 ikat. Seikat setara dengan 300 butir. “Kami kewalahan mendapatkan jagung dan bekatul,” ungkapnya.

Yansen (39 tahun), koordinator kandang di peternakan “Sahabat Ternak” di desa Padang Bhrahrang juga mengeluhkan hal serupa. Akibat harga jagung yang terus melambung, majikannya mulai menerapkan sistem peremajaan pada ayam-ayamnya demi menghindari konsumsi jagung yang tinggi.

Peremajaan digencarkan selama dua periode (2 x 700 hari). Peremajaan ini mengurangi jumlah ayam petelur sehingga yang tersisa kini hanya 15 barak atau berkapasitas 60.000 ekor ayam. Peremajaan kandang juga disasar demi menjaga kesehatan ayam. Kandang-kandang tua dibongkar, lalu dibangun kandang-kandang baru.

Selama masa peremajaan itu, lokasi antar barak yang berjarak 5-8 meter itu dijadikan kolam (tambak) lele. Ali, sang majikan melihat, perlu diversifikasi peternakan demi menutupi besarnya ongkos. Dengan tambak-tambak lele, pengusaha ternak ayam petelur ini berharap, dalam hitungan bulan, lele-ele ini segera bisa dijual dan hasilnya digunakan sebagai tambahan untuk membeli pakan demi menyelamatkan bisnis peternakan ayamnya.

Untuk mengelola tambak ikan lele itu, Ali tidak menambah jumlah pekerjanya. Ia mengandalkan 16 orang karyawannya. Karyawannya itulah yang dituntut bisa bekerja merawat ayam sekaligus memelihara lelenya. Tentu saja ia harus mengeluarkan biaya untuk honor tambahan bagi karyawannya.

Ridho, dari Medioncare mengaku harus rutin tiap hari mengunjugi kandang-kandang untuk mengontrol kesehatan ayam. Pemberian pakan berupa kerak goreng atau mi kadaluarsa telah menurunkan kesehatan ayam. Makanan kedaluarsa sangat mengganggu sistem pencernaan ayam. Sistem pencernaan yang tidak baik turut mempengaruhi produktivitas ayam bertelur.

Bahkan komposisi pakan yang kadang tanpa jagung dan bekatul telah memicu serangan lalat. Lalat-lalat banyak merubung wadah makan ayam. “Ini menjadi ancaman bagi kesehatan ayam,” terang sarjanan peternakan dari salah satu universitas di Padang itu.

[caption caption="Ayam-ayam dalam kurungannya. Ayam-ayam petelur ini tidak leluasa untuk bergerak. Mereka terperangkap dalam ruang jeruji seukuran dua kali badan mereka. Foto oleh Dedy Hutajulu"]

[/caption]Tak Berbasis Data

Bangkrutnya sejumlah peternakan ayam (broiler dan layer) di Langkat menjadi potret bagaimana dampak langsung kebijakan harga jagung di tingkat bawah. Kebijakan pemerintah seharusnya mendatangkan salam sejahtera bagi  kelompok peternak di daerah. Karena itu, seyogianya, kebijakan dibuat dengan banyak pertimbangan dan analisa yang tepat. Dan sebuah kebijakan seharusnya lahir berbasiskan data yang akurat.

Ketika tak berbasis data,  kebijakan hanya akan melahirkan sebuah bencana. Kebijakan penahanan impor jagung menunjukkan bagaimana data produkdi jagung dalam negeri tidak akurat. Dampaknya terasa di tataran atas dan gejolaknya menguat di bawah. Karena itu, amat perlu mencermati pernyataan Direktur Jenderal Tanaman Pangan Hasil Sembiring yang menyebut neraca kumulatif ketersediaan jagung di Indonesia masih berlebih. “Jumlah produksi jagung kita mencapai 20,6 juta ton sedang total kebutuhan jagung 19,43 juta ton. Jadi neraca produksi kumulatif masih surplus,” ujarnya.

Namun pernyataan itu ditepis keras Fafik Doni, seorang peternak ayam petelur asal Subang, Jawa Barat. Fafik mengatakan, tingginya harga jagung bukti kebijakan pemerintah yang keliru terhadap data jagung. “Kita mulai kesulitan mendapat jagung, jika pun ada harganya melambung tinggi. Dengan harga jagung yang mahal, saya tidak yakin petani punya barang (jagung),” katanya menduga.

Omongan Fafik ada benarnya. Jika dikaitkan dengan ketidaksinkronan antara data statistik jagung yang dikeluarkan Departemen Pertanian Amerika Serikat (USDA) dengan data BPS periode 2014. USDA merilis, pasokan jagung lokal 9,2 juta ton, sedangkan BPS melaporkan 19,2 juta ton. Tahun 2013 data USDA 9,1 juta ton sedang BPS 18,8 juta ton. 2012 juga berbeda sekali. Data USDA 8,5 juta ton sedang BPS 19,3 juta ton. Data dari USDA tampaknya jauh lebih masuk akal.

Jika mengacu ke Data BPS 2014, pasokan jagung lokal 19,2 juta ton sedang kebutuhan total akan jagung di tanah air mencapai 19,43 juta ton,  tetap saja kita masih kekurangan jagung. Sedangkan bila memakai data USDA, angka kekurangan jagung di tanah air mencapai  10 juta ton. Jika data ini disandingkan dengan pernyataan Hasil Sembiring, tentang  “surplus” jagung patut dipertanyakan. Dan dugaan Fafik soal kekurangan jagung makin menguat ketika Menpan Amrin Sulaiman menegaskan, impor jagung akan terus dilakukan. Ini sinyal bahwa kekurangan jagung di tanah air masih kentara.

[caption caption="Lalat-lalat merubung pada makanan ayam. Lalat-lalat ini berpotensi mendatangkan penyakit pada ayam. Foto oleh Dedy Hutajulu"]

[/caption]Tantangan

Tak jauh beda dengan tahun lalu, penyelamatan terhadap para peternak ayam serta pabrik pakan ternak tergantung pada kebijakan pemerintah. Kalau pasokan jagung di tanah air tidak mencukupi, impor tak terelakkan. Ketua Umum Gabungan Perusahaan Makanan Ternak (GPMT) Sudirman menyebut pabrik pakan ternak di Indonesia terus bertumbuh. Pada 2013 pertumbuhannya drastis, mencapai 68 pabrik dengan kapasitas produksi 18,5 juta ton. Di 2014 membengkak menjadi 82 pabrik dengan kapasitas produksi 20 juta ton. Dan di 2015 terus bertumbuh mencapai 84 pabrik dengan kapasitas produksi 21 juta ton.

Bertambahnya jumlah pabrik pakan ternak di Indonesia menunjukkan investasi terhadap pakan ternak kita cukup besar. Namun, Sudirman mengungkapkan selama 2015 ini, ada sejumlah pabrik yang terkapar lantaran menghadapi berbagai tantangan. Supaya tidak terjadi lagi kematian bagi para pengusaha ternak ayam di daerah, kendali harga jagung harus dibuat berdasarkan pertimbangan data yang akurat.

Kementerian pertanian sudah saatnya bergerak berdasarkan riset dan data.

[caption caption="Ayam-ayam petelur ini membuka mulutnya demi menghindari dehidrasi akibat panasnya suasana kandang. Foto oleh Dedy Hutajulu"]

[/caption]

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Money Selengkapnya
Lihat Money Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun