[caption caption="Nina, seorang sahabat, dari Daai TV saat menginterviu Mukhlis, dosen Seni Musik Unimed, dalam pameran 130 tahun Pers di Sumut yang digelar di digital Library, Unimed, tempo hari. Foto oleh Dedy Hutajulu"][/caption]MEREKA dicap kaum intelek dan punya literasi tinggi. Tapi seringkali banyak pihak malah memandang mereka tak lebih hanya sekadar meramaikan sebuah even. Tak heran jika meja disediakan untuk mereka hanya di pojok atau kursi paling belakang. Ini ironi wartawan!
***
SEBUAH karton kecil bertuliskan "JURNALIS" terletak di atas sebuah meja yang dekat pintu masuk hotel Grand Angkasa Medan. Meja bertaplak kain putih dengan sederet kursi melingkarinya. Meja dekat pintu masuk, itu artinya posisi paling belakang dari panggung utama.
Saya sedikit risih dengan posisi meja itu. Sebab jarak antara panggung dengan meja Jurnalis bertaut sekitar 100 meter. Jarak yang terbilang buruk untuk pengambilan gambar. Pun dari posisi itu ke speaker tidak baik untuk merekam.
Bahkan, posisi duduk di meja paling belakang itu sungguh suatu 'penghinaan" bagi kerja-kerja jurnalistik. Saya tidak tau, apakah perasaan ini hanya saya yang mengalami atau ada orang lain juga? Saya melihat, banyak panitia atau event organizer kerap menyediakan 'meja' bagi wartawan di bagian paling belakang. Padahal mereka membutuhkan pemberitaan media untuk kegiatan mereka. Menurut saya ini tidak sinkron.
Seharusnya, bangku jurnalis disediakan di bagian depan. Bila perlu sejajar dengan kelas VIP (Very Important Person). Bukankah wartawan juga adalah orang penting? Kan wartawan sebuah profesi dan ia bekerja profesional. Apa susahnya membantu mereka menyediakan meja paling depan sehingga mereka bisa mendengarkan paparan narasumber dengan baik? Juga mereka tidak terganggu untuk merekam atau mengambil gambar atau video.
Sebaliknya, dengan menyediakan kursi paling belakang, itu sangat mengganggu kinerja wartawan sekaligus juga merusak suasana kegiatan. Misalkan seminar. Wartawan harus bolak-balik ke depan-ke belakang demi mengambil gambar. Mereka juga terpaksa berdiri berlama-lama mengerjakan tugasnya karena harus maju ke depan panggung dan balik lagi ke mejanya di belakang. Celakanya, posisi itu tentu mengurangi kenikmatan peserta/tamu yang hadir karena mereka akan dipunggungi si wartawan. Dilema ini kan tidak baik.
Padahal, jika sedari awal pihak panitia menyediakan meja di posisi depan, akan lebih mudah bagi wartawan untuk melakukan kerja-kerja jurnalistiknya. Pun dengan menyedikan meja di bagian belakang, itu sama saja tidak menghormati wartawan yang diundangnya. Masakan panitia yang butuh pemberitaan tapi tak melayani secara baik jurnalisnya?
Sebagai informasi, dalam liputan di kantor parlemen (House of representatif) Australia, Canberra, mei 2015 silam, saya menyaksikan bagamana panitia telah menetapkan posisi atas paling depan sebagai ruang bebas gerak bagi wartawan/jurnalis untuk meliput. Tak seorang pun boleh masuk ke wilayah itu selama para jurnalis mengerjakan aktivitas jurnalistiknya. Ini menunjukkan sebuah penghormatan yang luar biasa pada kinerja jurnalis.Â
Hal yang paling ganjil yang saya temukan di lapangan adalah sulit sekali menemukan juru bicara/ahli komunikasi/humas yang punya keterampilan komunikasi sekaligus kebijaksanaan dalam melayani pertanyaan wartawan. Meski memang ada satu dua ahli komunikasi yang baik dan bijaksana. Saya kerap temukan wartawan yang mengeluh di beberapa even karena humasnya/ahli komunikasinya tidak paham apa sesungguhnya yang dicari wartawan terkait kegiatan tersebut.
Misalnya, wartawan butuh data atau fakta-fakta, namun panitia tidak mampu menyediakannya. Pihak humas/jubir atau ahli komunikasinya merasa sudah cukup adil jika telah menyediakan press release. Padahal, wartawan sendiri punya garis kebijakan, juga skeptis atas apa yang tersaji di press release itu. Dan tak tertutup kemungkinan, ada banyak informasi tambahan yang dilontarkan narasumber yang perlu sekali dikonfirmasi ulang ke pihak panitia. Namun hal-hal teknis begini sering sekali luput dari perhatian panitia/humas/PR/jubir/ahli komunikasi.
Keganjilan-keganjilan ini mudah sekali ditemukan di Medan dan Sumatera Utara. Tak heran jika di Sumut profesi wartawan kerap dicap kelas dua. Ini menjadi kritik bagi sejumlah instansi di pemerintah maupun swasta di Medan dan Sumut, sekaligus juga otokritik bagi dunia pers dan jurnalis. Tentu saja, fenomena ini berkembang biak tak lepas dari mutu wartawan dan persnya.
Seperti kata orang, jangan gara-gara "buruk muka, cermin dipecahkan". Jangan! Pers dan jurnalis juga harus berbenah diri. Memperlengkapi diri. Mengasah keterampilan. Sebab dengan menjaga mutu jurnalistiklah, publik bisa percaya. Usaha membangun kepercayaan kepada pemirsa harus terus-menerus dilakukan. Dan stigma "jurnalis sok-sokan" harus dihela jauh-jauh. Kerja-kerja bermutu menjadi pertaruhan, termasuk etika saat meliput. Sehingga kelak, meja wartawan sudah dalam barisan VVIP!
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H