Meski mereka juga tidak tertarik dengan foto jurnalistik. Namun mereka bisa dilatih. Mereka memang relawan, sekaligus juga korban. Namun semnata relawan adalah sesuatu yang tak bisa dipadamkan dan dibendung. Mereka tentu akan serius. Mereka akan belajar memotret dengan baik, belajar mengedit foto ini, dan melakukannya  terus menerus. Dalam titik ini, bukan tidak mungkin ada pihak lain yang akan memantau dan memperhatikannya. Lalu di sinilah akan muncul solidaritas.
Kalau masyarakat bisa melakukannya, menurut saya, itu jauh lebih menarik. Ketika pers mulai melihat isu pasca bencana tidak lagi seksi atau diakibatkan alas an tugas liputan lain yang tak kalah penting, saat itulah warga unjuk gigi. Buatkan saja blog. Walau kecil, tapi akan berdampak, sehingga mitigasi bencana berjalan terus.
Pengembagangan Mitigasi Bencana, melalui jurnalisme bencana dengan melibatkan masyarakat atau korban bencana menjadi sebuah keniscayaan. Mitigasi itu tak kan bisa terjadi jika tak melihatkan para korban. Saatnya warga di daerah rawan bencana berdiri sebagai subjek pemberita, bukan lagi objek yang melulu diwartakan.
[caption caption="Buku Peradaban Cahaya, karya Bedu Saini, saat diluncurkan di Kafe Potret Medan, Sabtu (19/12). Foto oleh Dedy Hutajulu"]
[caption caption="Foto hasil bidikan Bedu tentang dahsyatnya Tsunami Aceh yang diprint hitam putih ketika dipajangkan di dinding Kafe Potret, Medan. "]
[caption caption="Foto lainnya yang dipajang di Kafe Potret Medan. Foto ini digunakan sebagai sampul depan buku Jurnalisme bencana, Bencana Jurnalisme karya Ahmad Arif., wartawan KOMPAS "]
[caption caption="Karya lain yang dipajang di dinding kafe Potret Medan"]
[caption caption="Foto lain yang bercerita tentang warga berusaha menyelamatkan diri dari kejaran air laut akibat terjangan gelombang tsunami"]
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H