Mohon tunggu...
Dedy Padang
Dedy Padang Mohon Tunggu... Petani - Orang Biasa

Sedang berjuang menjadikan kegiatan menulis sebagai sarana yang sangat baik untuk menenangkan diri dan tidak tertutup kemungkinan orang lain pula.

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

Menyadari Kelemahan Diri Sendiri adalah Cara Terbaik Berdamai dengan Kelemahan Orang Lain

2 Februari 2021   22:57 Diperbarui: 2 Februari 2021   23:08 1266
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Judul tulisan artikel ini saya ambil dari foto profil akun WhatsApp saya sendiri. Saya tidak tahu lagi kapan saya men-download gambar itu, yang pasti foto itu sudah lama menjadi foto profil akun WA-ku.

Saya senang dengan tulisan yang ada dalam foto profil WA ku tersebut. Sebenarnya itu tertulis demikian: "Knowing your own darkness is the best method for dealing with the darknesses of other people". Di bawah tulisan itu tercatat sebuah nama yaitu Carl Jung. Saya kira itu adalah nama pencetus pernyataan luar biasa tersebut.

Semoga terjemahan saya tidak salah atas pernyataan itu. Saya menerjemahkannya sesuai dengan judul artikel yang saya tulis ini, yaitu "Menyadari kelemahan diri adalah cara terbaik untuk berdamai dengan kelemahan orang lain".

Hal yang pertama kali muncul dalam pikiranku saat saya melihat foto itu ialah saya merasa terhakimi dengan pernyataan itu. Maksudnya ialah, segera saat melihatnya, saya pun teringat kalau saya itu susah sekali menerima kesalahan orang lain. 

Ya, benar, karena menurut ilmu psikologi, saya itu berkepribadian perfeksionis, yang keinginannya harus selalu sempurna, sempurna dan sempurna. Jika ada orang yang berbuat salah, saya segera marah kepadanya, meskipun beberapa saat kemudian saya berdamai lagi dengannya. Namun hampir selalu terjadi bahwa saya tidak ingin agar orang lain itu berbuat salah. 

Karena merasa terhakimi, maka saya pun segera mendownload-nya dan menjadikannya sebagai foto profil untuk akun WA ku. Tujuan ku adalah sederhana, yaitu sebagaimana seringnya saya membuka WA setiap hari, demikianlah juga aku disadarkan akan pernyataan itu.

Sebenarnya tidak ada yang salah dengan pribadi perfeksionis jika itu tertuju kepada diri sendiri. Artinya ada suatu ketegasan untuk berbuat sebaik mungkin dan itu ditujukan kepada diri sendiri. 

Namun yang sering terjadi ialah ukuran sempurna itu sering kali hanya saya arahkan kepada orang lain untuk mereka perbuat sementara saya sendiri seringkali bertoleransi atasnya. Artinya saya lebih mudah memaklumi kesalahanku dari pada memaklumi kesalahan orang lain.

Jika seandainya saya konsisten dengan sikapku, harusnya saya pun marah kepada diriku sendiri saat saya berbuat kesalahan, sehingga untuk ke depannya saya tidak lagi jatuh pada kesalahan yang sama.

Namun yang terjadi tidaklah demikian. Saya justru suka marah dan suka menilai kesalahan orang lain. Akhirnya, foto itu pun menjadi peringatan bagiku untuk tidak segera menghakimi jika ada sesama yang berbuat salah karena sebenarnya saya pun tidak luput dari kesalahan.

Namun pernyataan yang ada dalam foto itu bukan berarti bahwa kita tidak boleh menegur teman yang berbuat salah. Wajib hukumnya bagi kita untuk menegur teman yang berbuat salah. Itulah konsekuensi langsung dari martabat kita sebagai makhluk sosial, yang tidak hanya peduli pada diri sendiri, tetapi juga peduli dengan orang yang ada di sekitar kita. Dan menegur teman yang berbuat salah adalah salah satu bentuk kepedulian itu sendiri.

Pernyataan yang ada dalam foto profil WA-ku itu hanya ingin mengatakan bahwa sikap menghakimi adalah suatu perbuatan yang tidak baik, karena ukuran yang kita pakai untuk orang lain sering kali juga akan menjadi jerat bagi kita saat kita jatuh pada kesalahan seperti yang mereka perbuat.

Oleh karena itu, pernyataan itu hendak mengajak kita untuk bisa berdamai dengan kelemahan sesama yang ada di sekitar kita. Berdamai dalam hal ini ialah tidak lekas menghakimi jika ada teman yang berbuat salah. Sebaliknya, kita mencoba memahaminya sebagaimana kita juga berusaha memahami kelemahan kita sendiri.

Kita dan mereka sama-sama merupakan pribadi yang tidak sempurna. Setiap dari kita pasti memiliki kelemahannya masing-masing, bahkan adakalanya kita memiliki kelemahan yang sama. Dan saat kita berjuang dengan sekeras mungkin untuk memberi penghakiman kepada sesama yang berbuat salah sementara kita juga sering jatuh pada kesalahan tersebut, maka dengan sendirinya kita pun sedang menghakimi diri kita sendiri.

Sesungguhnya kita tidak ada bedanya dengan mereka yang kita hakimi, bahkan boleh jadi kita lebih jahat dari padanya, karena orang yang kita hakimi itu hanya jatuh pada perbuatan salah, sementara kita lebih lagi yaitu menghakiminya. Dengan demikian kita pun telah menjadi "hakim palsu" yang dosanya jauh lebih berat dari pada orang lain yang sedang kita hakimi.

Mari menyadari kelemahan diri untuk bisa berdamai dengan kelemahan orang lain.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun