Judul tulisan artikel ini saya ambil dari foto profil akun WhatsApp saya sendiri. Saya tidak tahu lagi kapan saya men-download gambar itu, yang pasti foto itu sudah lama menjadi foto profil akun WA-ku.
Saya senang dengan tulisan yang ada dalam foto profil WA ku tersebut. Sebenarnya itu tertulis demikian: "Knowing your own darkness is the best method for dealing with the darknesses of other people". Di bawah tulisan itu tercatat sebuah nama yaitu Carl Jung. Saya kira itu adalah nama pencetus pernyataan luar biasa tersebut.
Semoga terjemahan saya tidak salah atas pernyataan itu. Saya menerjemahkannya sesuai dengan judul artikel yang saya tulis ini, yaitu "Menyadari kelemahan diri adalah cara terbaik untuk berdamai dengan kelemahan orang lain".
Hal yang pertama kali muncul dalam pikiranku saat saya melihat foto itu ialah saya merasa terhakimi dengan pernyataan itu. Maksudnya ialah, segera saat melihatnya, saya pun teringat kalau saya itu susah sekali menerima kesalahan orang lain.Â
Ya, benar, karena menurut ilmu psikologi, saya itu berkepribadian perfeksionis, yang keinginannya harus selalu sempurna, sempurna dan sempurna. Jika ada orang yang berbuat salah, saya segera marah kepadanya, meskipun beberapa saat kemudian saya berdamai lagi dengannya. Namun hampir selalu terjadi bahwa saya tidak ingin agar orang lain itu berbuat salah.Â
Karena merasa terhakimi, maka saya pun segera mendownload-nya dan menjadikannya sebagai foto profil untuk akun WA ku. Tujuan ku adalah sederhana, yaitu sebagaimana seringnya saya membuka WA setiap hari, demikianlah juga aku disadarkan akan pernyataan itu.
Sebenarnya tidak ada yang salah dengan pribadi perfeksionis jika itu tertuju kepada diri sendiri. Artinya ada suatu ketegasan untuk berbuat sebaik mungkin dan itu ditujukan kepada diri sendiri.Â
Namun yang sering terjadi ialah ukuran sempurna itu sering kali hanya saya arahkan kepada orang lain untuk mereka perbuat sementara saya sendiri seringkali bertoleransi atasnya. Artinya saya lebih mudah memaklumi kesalahanku dari pada memaklumi kesalahan orang lain.
Jika seandainya saya konsisten dengan sikapku, harusnya saya pun marah kepada diriku sendiri saat saya berbuat kesalahan, sehingga untuk ke depannya saya tidak lagi jatuh pada kesalahan yang sama.
Namun yang terjadi tidaklah demikian. Saya justru suka marah dan suka menilai kesalahan orang lain. Akhirnya, foto itu pun menjadi peringatan bagiku untuk tidak segera menghakimi jika ada sesama yang berbuat salah karena sebenarnya saya pun tidak luput dari kesalahan.