Mohon tunggu...
Dedy Padang
Dedy Padang Mohon Tunggu... Petani - Orang Biasa

Sedang berjuang menjadikan kegiatan menulis sebagai sarana yang sangat baik untuk menenangkan diri dan tidak tertutup kemungkinan orang lain pula.

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Artikel Utama

Pujian dan Kritikan Itu Hanya Berbeda Nada, tetapi Tujuannya Sama

9 Desember 2020   10:23 Diperbarui: 10 Desember 2020   11:57 392
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
ilustrasi (Freepik/Racool_studio)

Suatu sore, saya memberi materi kepada para katekumen atau mereka yang ingin menjadi anggota Gereja Katolik. Sore itu merupakan pembelajaran ketiga bagi mereka, sementara bagi saya sendiri sore itu adalah kedua kalinya saya memberikan materi kepada mereka. 

Sebelumnya, materi disampaikan oleh bapak katekis paroki kami yang juga berprofesi sebagai sekretaris di paroki kami. Materi pembelajarannya sudah dipersiapkan oleh paroki dan saya hanya menyampaikannya kepada para katekumen. Materi yang saya berikan sore itu ialah tentang tahun liturgi serta praktik dalam liturgi.

Sebelum tiba waktu pembelajaran, saya berusaha mempelajari materi-materi yang akan saya berikan. Meskipun materi-materi itu sudah saya pelajari sebelumnya sewaktu kuliah, namun saya sadar kalau ingatan saya tidak kuat sehingga masih perlu mempelajarinya kembali.

Tujuannya ialah agar saya bisa dengan lantang menyampaikannya kepada para katekumen. Setidaknya dengan mempelajarinya kembali ingatanku tentang materi itu pun disegarkan.

Ketika tiba waktu yang ditentukan untuk memberikan materi, maka saya segera masuk ke dalam gereja. Di sana para katekumen telah duduk menanti dengan peralatan tulis berada di depan mereka. Kebetulan ada anggota baru yang hadir, yang sebelumnya tidak hadir saat saya memberikan materi kepada mereka. Untuk itu saya memiliki alasan untuk memperkenalkan diri sebelum pembelajaran dimulai.

Setelah perkenalan, saya memulai pembelajaran dengan doa pembukaan. Karena mereka sedang belajar tentang agama Katolik maka saya pun meminta mereka untuk membacakan doa-doa dasar dalam agama Katolik sebagai doa pembukaan untuk pembelajaran sore itu.

Setelah doa pembuka selesai saya mulai menjelaskan apa yang menjadi materi kami sore itu. Sejauh yang saya kira, semua materi bisa saya sampaikan dengan baik.

Namun untuk memastikan kalau mereka mengerti apa yang saya ajarkan maka saya pun melontarkan pertanyaan kepada mereka, dan itu saya lakukan setiap kali bagian-bagian dari materi pembelajaran selesai saya ajarkan. Dan saya merasa kalau mereka sangat aktif sehingga saya pun semakin bersemangat mengajari mereka.

Barangkali karena larut dalam keseruan belajar saya tidak sadar kalau waktu pun berakhir. Sesuai dengan kesepatakan bersama, waktu yang kami gunakan untuk belajar ialah selama satu jam dan saat itu kami telah melewati 10 menit.

Saat saya mengatakan kalau pembelajaran dicukupkan untuk saat itu, mereka pun tidak menyangka kalau ternyata waktu telah berakhir, bahkan telah melewati. Dengan respons mereka yang demikian saya pun cukup berbangga hati karena merasa berhasil menciptakan suasana belajar yang menarik dan mengesankan bagi mereka. Namun rasa itu tetap saya antisipasi agar tidak menimbulkan kesombongan dalam diri.

Lalu kami menutup pembelajaran sore itu dengan doa penutup. Sekali lagi saya meminta mereka untuk membacakan doa-doa dasar dalam agama Katolik sebagai doa penutup. Setelah selesai kami pun bergegas untuk meninggalkan gereja.

Sebelum mereka pergi, seorang ibu menyampaikan kesannya kalau pembelajaran yang saya berikan itu menarik dan mudah mereka pahami. Spontan teman-teman yang lain juga menyetujuinya. Rasa bangga saya saat itu semakin berseri.

Namun rasa itu segera berkurang ketika mereka membandingkan saya dengan katekis kami yang pernah mengajari mereka. Menurut mereka cara katekis itu memberikan materi terasa sedikit membosankan.

Untuk mencegah pembedaan yang lebih besar lagi maka saya pun segera mengungkapkan pembelaan kalau itu bisa saja terjadi akibat faktor usia. Kebetulan katekis kami itu sudah berusia 53 tahun sementara saya sedang beranjak dewasa.

Akhirnya kami berdamai dengan pembedaan itu dan meminta mereka untuk tetap semangat dalam belajar, terlepas siapa pun yang menjadi pemberi materinya. Saya juga menyampaikan bahwa sukses tidaknya suatu pembelajaran itu lebih besar ditentukan oleh penerima materi bukan pemberi materi. Karena semuanya itu demi mereka.

Dari pengalaman sore itu, yang menarik hati saya ialah tentang pujian mereka kepada saya dan kritik mereka kepada katekis paroki kami. Saya tidak tahu apakah pujian harus selalu diikuti dengan perbandingannya kepada orang lain.

Namun sore itu saya mengerti, kalau ternyata semuanya itu tertuju kepadaku, baik pujian maupun kritikan.

Pujian itu mereka sampaikan agar saya semakin berkembang dalam memberikan materi sementara kritikan bertujuan agar saya tidak jatuh pada kesalahan yang menjadi isi kritikan mereka. Jadi sore itu mereka pun sedang mengajari saya, dengan memperlihatkan kepada saya, sosok pengajar yang baik untuk mereka.

Dokumen pribadi
Dokumen pribadi

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun