Sebelum mereka pergi, seorang ibu menyampaikan kesannya kalau pembelajaran yang saya berikan itu menarik dan mudah mereka pahami. Spontan teman-teman yang lain juga menyetujuinya. Rasa bangga saya saat itu semakin berseri.
Namun rasa itu segera berkurang ketika mereka membandingkan saya dengan katekis kami yang pernah mengajari mereka. Menurut mereka cara katekis itu memberikan materi terasa sedikit membosankan.
Untuk mencegah pembedaan yang lebih besar lagi maka saya pun segera mengungkapkan pembelaan kalau itu bisa saja terjadi akibat faktor usia. Kebetulan katekis kami itu sudah berusia 53 tahun sementara saya sedang beranjak dewasa.
Akhirnya kami berdamai dengan pembedaan itu dan meminta mereka untuk tetap semangat dalam belajar, terlepas siapa pun yang menjadi pemberi materinya. Saya juga menyampaikan bahwa sukses tidaknya suatu pembelajaran itu lebih besar ditentukan oleh penerima materi bukan pemberi materi. Karena semuanya itu demi mereka.
Dari pengalaman sore itu, yang menarik hati saya ialah tentang pujian mereka kepada saya dan kritik mereka kepada katekis paroki kami. Saya tidak tahu apakah pujian harus selalu diikuti dengan perbandingannya kepada orang lain.
Namun sore itu saya mengerti, kalau ternyata semuanya itu tertuju kepadaku, baik pujian maupun kritikan.
Pujian itu mereka sampaikan agar saya semakin berkembang dalam memberikan materi sementara kritikan bertujuan agar saya tidak jatuh pada kesalahan yang menjadi isi kritikan mereka. Jadi sore itu mereka pun sedang mengajari saya, dengan memperlihatkan kepada saya, sosok pengajar yang baik untuk mereka.
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana
Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI