Suatu kali saya mendapat tugas kunjungan ke sebuah stasi kecil. Kecil karena jumlah KK-nya (Kepala Keluarga) hanya 11. Karena sudah pernah menemani pastor paroki ke stasi tersebut, saya merasa baik-baik saja ketika diminta untuk kunjungan ke stasi tersebut seorang diri.
Karena jaraknya hanya sekitar 10 KM, maka saya tidak terburu berangkat. Saya baru berangkat sekitar 30 menit sebelum jam masuk gereja. Saya kira pilihan ini kurang tepat karena dengan demikian waktu untuk memberikan katekese jadi sedikit.
Tanpa banyak tanya karena mengandalkan ingatan ketika menemani pastor mengunjungi stasi tersebut, saya berangkat. Awalnya saya merasa percaya diri bahwa saya ingat arah jalan yang harus saya lalui, sambil mengendarai motor dengan santainya.Â
Namun semakin lama saya berjalan, saya heran mengapa tidak ada tanda-tanda yang ada dalam ingatanku ketika mengunjungi stasi tersebut. Saat itu saya mulai bingung dan menyadari bahwa saya telah sedang tersesat.
Saya berhenti dan bertanya kepada seseorang yang saya jumpai di tempat saya berhenti. Dengan menggunakan bahasa Nias seadanya saya bertanya alamat gereja stasi yang akan saya kunjungi. Sebenarnya dia tidak tahu alamat itu. Namun karena di sekitar itu tidak ada gereja, dia mengatakan bahwa saya telah salah jalan.
Segera saya melaju dengan kencang karena takut terlambat tiba di stasi. Setelah jauh dari simpang jalan yang salah tadi saya bertanya lagi kepada orang yang ada di pinggir jalan. Dia justru tidak mengetahuinya alamat stasi tersebut. Saya pun jadi tambah bingung.
Akhirnya saya bertemu dengan seorang pemuda yang nantinya langsung membawa saya ke stasi yang saya tuju. Awalnya dia memberitahukan kepadaku jalan yang salah.Â
Ketika saya telah melaju menuju alamat yang dia jelaskan, dari belakang dia mengejar saya. Dia minta maaf dan mengatakan bahwa jalan yang dia beritahu itu tidak digunakan lagi karena aksesnya sangat sulit dan tidak bisa dilalui oleh sepeda motor. Lalu dia mengantarkan saya secara langsung.
Ketika sudah tiba di gereja yang saya tuju saya memberi dia uang sekedar pengganti bensin motornya karena telah mengantarkan saya. Namun dia menolak. Dia meminta agar saya berdoa untuknya. Akhirnya saya mengucapkan terima kasih karena telah bersedia mengantarkan saya, dan sebelum dia pergi kami bersalaman seperti kebiasaan pada umumnya.
Ketika saya melayangkan pandangan ke arah gedung gereja, ternyata bapak Lektor telah berdiri di depan pintu gereja. Segera saya minta maaf sebesar-besarnya dan menjelaskan situasi yang kualami. Saya terkesan dengan jawabannya.Â
"Saya minta tadi kepada umat agar tetap sabar menunggu frater karena frater pasti datang." Sungguh suatu dukungan yang sangat luar biasa bagi ku.
Saya terlambat setengah jam dari waktu normal. Saya yakin mereka kepanasan selama menunggu di dalam gereja mengingat asbes gerejanya tidak ada dan pada saat itu terik matahari sangat kuat.Â
Saya sendiri berkeringat. Namun mereka tetap bisa tersenyum menyambut kehadiranku. Mereka bangkit berdiri untuk menyalam saya dan dengan penuh rasa syukur saya berusaha menjangkau tangan mereka semua. Setelah itu ibadat segera saya mulai.
Refleksi Pribadi
Saya bersyukur dengan pengalaman ini. Meski dalam kelemahanku karena merasa sok tahu, namun Tuhan menunjukkan cinta-Nya kepadaku lewat kesabaran umat untuk menunggu, lewat sambutan yang tetap hangat kepadaku dan lewat kerendahan hati seorang pemuda yang langsung mengantarkanku ke gereja tersebut.Â
Namun sembari bersyukur saya berjanji dalam hati untuk tidak mengulangi kesalahan yang sama. Ini adalah dukungan sekaligus peringatan bagi ku dalam menjalani panggilan Tuhan.
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana
Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI