Niowuru
Ada suatu jenis makanan lagi dari budaya Nias yang pernah saya jumpai selama menjalani TOP di sana, yaitu niowuru. Niowuru ini adalah daging yang telah diawetkan dengan cara diasinkan. Bagi saya pribadi, jika ada ikan asin, maka niowuru itu saya sebut sebagai daging asin. Rasanya asin dan bahkan bagiku sangat asin.
Di beberapa daerah, tempat saya menjalani Tahun Orientasi Pastoral (TOP), listrik belum masuk. Untuk penerangan pada malam hari, mereka menggunakan panel surya yang terangnya tidak begitu kuat. Oleh karena tidak memiliki listrik yang cukup, maka mereka pun tidak bisa memiliki kulkas atau pendingin di rumah mereka.
Niowuru bisa bertahan selama satu bulan. Namun menurut mereka, Â sebelum sampai satu bulan, daging itu biasanya sudah habis.
Niowuru sering menjadi hidangan utama mereka untuk menyambut tamu, terlebih tamu yang berasal dari tempat jauh, dan saya termasuk di dalamnya. Itu terjadi karena niowuru itu sering berbentuk simbi yang merupakan makanan khusus bagi orang-orang yang mereka hormati. Oleh karena itu, setiap kali saya berkunjung ke tempat mereka, saya hampir selalu disuguhkan simbi yang sudah diasinkan.
Selama berada di Pulau Nias, saya menjadi akrab dengan jenis makanan ini. Awalnya saya begitu berjuang untuk bisa melahapnya setiap kali dihidangkan bagiku. Rasanya asin dan bahkan sangat asin. Namun saya merasa tidak enak jika menolaknya terlebih jika niowuru itu adalah simbi yang dikhususkan bagi ku.
Bagi mereka sendiri, niowuru adalah makanan yang lezat. Saya heran saat melihat mereka makan niowuru dengan lahapnya. Dan setiap kali makan dengan mereka, saya pun berbuat seolah-olah suka dan lahap seperti mereka.
Pernah suatu kali, ketika saya menjalani kursus bahasa Nias di sebuah stasi di pegunungan, saya diajak oleh seorang bapak yang menjadi guru bahasa Nias ku untuk berkunjung ke rumah salah seorang umat di tempat itu. Itu terjadi pada malam hari dan itu merupakan malam terakhir bagiku untuk kursus bahasa Nias.
Sesampainya di tempat yang kami tuju, kami langsung disuguhi makan malam dengan niowuru sebagai lauknya. Niowuru itu berbentuk simbi. Saat melihat niowuru itu rasa lapar saya tiba-tiba hilang, namun saya merasa tidak enak jika harus meminta lauk khusus. Terlebih niowuru itu adalah simbi yang diasinkan. Rasa tidak enak saya semakin besar ketika tuan rumah memberi ku potongan yang sangat besar.
Akhirnya saya mencoba untuk mengakalinya. Saya minta diambilkan kecap manis untukku. Kebetulan mereka adalah pedagang bakso dan di atas meja sebelah meja tempat kami makan berdiri tegak kecap manis. Saya lumuri semua daging yang menjadi bagianku dengan kecap manis dan meskipun rasanya masih asin tetapi setidaknya ada manis-manisnya yang membuat lidahku tidak menolak.
Saya yakin bahwa rasaku terhadap niowuru ini dipengaruhi oleh kebiasaan. Saya belum terbiasa dengan jenis makanan ini. Sama halnya ketika memakan afo untuk pertama kalinya, saya langsung merasa pusing karena belum terbiasa dan setelah terbiasa saya merasa baik-baik saya bisa menikmatinya.
Saya tidak mungkin memaksakan umat untuk tidak menyediakan niowuru bagiku ketika saya makan di rumah mereka. Mereka belum memiliki pendingin karena listrik belum ada di tempat mereka.Â
Sementara itu, mereka juga telah menganggap bahwa simbi adalah makanan untuk menghormati tamu yang ada. Maka ketika hendak berangkat untuk mengunjungi stasi yang berada di pegunungan, saya sudah siap sedia menerima apa yang akan mereka disajikan kepadaku, sekalipun itu niowuru.Â
Saya tidak boleh menciderai rasa hormat mereka terhadapku. Saya hanya perlu membiasakan diri agar rasaku terhadap niowuru sama seperti rasa mereka. Ya, saya memang harus membiasakan diri. Jangan menolak rasa hormat umat, karena toh niowuru tersebut tidak membuat saya sakit atau mengalami keadaan yang menyedihkan.
Refleksi Pribadi
Niowuru adalah makanan unik yang pernah saya temui di Pulau Nias. Rasanya asin dan sering membuatku tidak selera memakannya. Namun saya tidak boleh menolaknya dan membuat mereka menjadi repot untuk menyediakan makanan khusus bagiku.
Niowuru mengajariku untuk mensyukuri apa yang ada dan apa yang saya temui dalam perjalananku menjalani TOP di Pulau Nias. Selain itu, niowuru juga mengajari saya untuk bersimpati atas keadaan umat yang berada di daerah pegunungan atau yang berada di daerah terpencil. Kehadiranku haruslah menjadi berkat bagi mereka karena untuk itulah saya menerima panggilan ini dari Tuhan.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H