Saya yakin bahwa rasaku terhadap niowuru ini dipengaruhi oleh kebiasaan. Saya belum terbiasa dengan jenis makanan ini. Sama halnya ketika memakan afo untuk pertama kalinya, saya langsung merasa pusing karena belum terbiasa dan setelah terbiasa saya merasa baik-baik saya bisa menikmatinya.
Saya tidak mungkin memaksakan umat untuk tidak menyediakan niowuru bagiku ketika saya makan di rumah mereka. Mereka belum memiliki pendingin karena listrik belum ada di tempat mereka.Â
Sementara itu, mereka juga telah menganggap bahwa simbi adalah makanan untuk menghormati tamu yang ada. Maka ketika hendak berangkat untuk mengunjungi stasi yang berada di pegunungan, saya sudah siap sedia menerima apa yang akan mereka disajikan kepadaku, sekalipun itu niowuru.Â
Saya tidak boleh menciderai rasa hormat mereka terhadapku. Saya hanya perlu membiasakan diri agar rasaku terhadap niowuru sama seperti rasa mereka. Ya, saya memang harus membiasakan diri. Jangan menolak rasa hormat umat, karena toh niowuru tersebut tidak membuat saya sakit atau mengalami keadaan yang menyedihkan.
Refleksi Pribadi
Niowuru adalah makanan unik yang pernah saya temui di Pulau Nias. Rasanya asin dan sering membuatku tidak selera memakannya. Namun saya tidak boleh menolaknya dan membuat mereka menjadi repot untuk menyediakan makanan khusus bagiku.
Niowuru mengajariku untuk mensyukuri apa yang ada dan apa yang saya temui dalam perjalananku menjalani TOP di Pulau Nias. Selain itu, niowuru juga mengajari saya untuk bersimpati atas keadaan umat yang berada di daerah pegunungan atau yang berada di daerah terpencil. Kehadiranku haruslah menjadi berkat bagi mereka karena untuk itulah saya menerima panggilan ini dari Tuhan.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H