Mohon tunggu...
Dedy Padang
Dedy Padang Mohon Tunggu... Petani - Orang Biasa

Sedang berjuang menjadikan kegiatan menulis sebagai sarana yang sangat baik untuk menenangkan diri dan tidak tertutup kemungkinan orang lain pula.

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Kisah TOP di Pulau Nias (Bagian 7)

27 Oktober 2020   10:21 Diperbarui: 27 Oktober 2020   10:28 178
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Farau Danga

Selain simbi dan afo, masyarakat Nias juga memiliki kebiasan lain untuk menghormati sesamanya yaitu berjabat tangan atau yang dalam bahasa mereka disebut farau danga.

Sesungguhnya kebiasaan untuk berjabat tangan merupakan hal yang biasa. Meskipun demikian saya tetap takjub dengan kebiasaan berjabat tangan yang dilakukan oleh masyarakat Nias.

Awal rasa takjub saya atas kegiatan itu kualami saat saya pergi ke stasi untuk menemani Pastor merayakan Perayaan Ekaristi. Sesampainya di gereja, Pastor langsung bergerak untuk menyalami semua orang yang ada di dalam gereja sambil berkata: "Ya'ahowu!". Saya bertanya dalam hati, "Mengapa harus semua disalam". Meski saya heran, tetapi saya mengikuti apa yang dilakukan oleh beliau.

Rasa takjub yang selanjutnya juga saya alami saat saya pergi ke stasi dengan seorang katekis. Sesampainya di sebuah rumah dari ketua stasi, pak katekis langsung menyalami semua orang yang ada di dalam rumah itu dan sekali lagi saya pun mengikutinya.

Rasa takjub berikutnya saya alami saya berpapasan dengan orang di tengah perjalanan. Pak Katekis yang menemani saya langsung memberi sapaan: "Ya'ahowu, lo farau danga ita e!". Kata sapaan pak Katekis itu berbunyi demikian: "Hai, kita tidak perlu berjabat tangan ya!". Lalu jawab orang disapa itu demikian: "Ya'ahowu, lau, lo salania" yang artinya: "Hai juga, iya tidak apa-apa".

Sebenarnya yang langsung memunculkan pertanyaan dalam hati ku tentang makna berjabat tangan atau farau danga ialah perkataan dari pak katekis tersebut: "Ya'ahowu, lo farau danga ita e" yang artinya "Hai, kita tidak perlu berjabat tangan ya".

Menurutku, kata-kata dari pak katekis itu mengatakan sesuatu tentang berjabat tangan atau farau danga dalam kebiasaan mereka. Dari kata-kata itu saya mengerti bahwa kegiatan berjabat tangan itu perlu dilakukan dan saat kita tidak bisa melakukannya kita harus mengatakannya agar orang yang kepadanya kita harusnya berjabat tangan mengerti dan boleh jadi agar tidak tersinggung.

Akhirnya kebiasaan itu tumbuh juga dalam diriku. Setiap kali berkunjung ke rumah umat saya akan langsung menyalami mereka satu persatu sambil berkata: "Ya'ahowu!". Begitu juga halnya saat berkunjung ke sebuah gereja untuk memandu ibadat, saya akan menyalami mereka semua baik sebelum ibadat dimulai maupun setelah ibadat berakhir.

Memang benar, selain menunjukkan rasa hormat kepada sesama yang ada di sekitar kita, berjabat tangan juga membuat kita merasa nyaman berada di antara mereka. Rasa itu sangat saya perlukan karena pada saat itu saya adalah orang baru bagi mereka dan mereka pun orang baru bagi saya. Untuk memecah kekakuan di antara kami, berjabat tangan adalah sarana terbaik.

Selama berada di Pulau Nias, gerak tangan saya selalu spontan untuk memberikan salam kepada setiap orang yang saya jumpai, terlebih jika orang itu adalah orang baru. Jabatan tangan atau farau danga membuat saya tidak pernah takut untuk berkunjung ke mana saja meskipun saya belum pernah ke tempat itu. Itu karena saya memiliki satu kunci persaudaraan bagi mereka yaitu farau danga. Dan siapa pun dia, pasti akan segan jika kita hormat kepada dia. Itulah strategi pastoral ku selama menjalani TOP di Pulau Nias.

Refleksi pribadi

Farau danga atau berjabat tangan merupakan hal yang biasa dalam hidup sehari-hari, namun bukan berarti itu tanpa makna sama sekali. Farau danga adalah kebiasaan baik yang perlu dilakukan untuk menghormati setiap orang yang berada di sekitar kita., dan saat itu kita lakukan segala rasa curiga dan ketakutan pun sirna.

Saya bersyukur kepada Tuhan atas strategi pastoral yang Ia perlihatkan kepada ku selama berada di Pulau Nias. Pulau Nias adalah tempat yang asing dan sama sekali baru bagi saya. 

Namun hal itu tidak lagi mengkhawatirkan karena suatu prinsip baik tentang hubungan dengan sesama yaitu saling menghormati. Saat kita hidup dengan rasa hormat kepada sesama maka hidup kita pun akan menjadi damai. Dan bagi saya sendiri, farau danga membuat pelayanan saya mendapat tempat di hati mereka. Itu terjadi karena sikap hormat ku kepada mereka.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun