Dengan demikian, nupsial tubuh manusia sebagai laki-laki dan perempuan tidak dinyatakan dalam wujud kesatuan daging melainkan dalam bentuk peresapan dan perasukan daya-daya ilahi ke dalam daya-daya manusiawi yang melampaui keutuhan dan kesatuan antara laki-laki dan perempuan dalam satu daging. Karena landasan iman ini, maka dalam dunia kebangkitan, manusia sungguh-sungguh tidak kawin dan tidak dikawinkan.
Berjumpa dengan Allah dari "Muka ke Muka"
Manusia diciptakan sebagai laki-laki dan perempuan. Karena itu, dari kodratnya, manusia memiliki keinginan untuk bersatu dalam persekutuan yang mengagumkan, baik di antara laki-laki dengan perempuan itu sendiri maupun di antara laki-laki dan perempuan dengan Allah, Penciptanya.Â
Wujud kesatuan ini terjadi melalui proses "spiritualisasi" dan "divinisasi" atas tubuh manusia dan daya-daya manusiawi yang ada di dalamnya. Karena proses ini, manusia ambil bagian dalam kehidupan ilahi (dunia kebangkitan).
Dalam dunia kebangkitan manusia akan berjumpa dengan Allah dari "muka ke muka". Perjumpaan pribadi antara manusia dengan Allah dari "muka ke muka" akan menerangi relasi cinta di antara manusia, terutama relasi cinta antara suami-isteri.Â
Cinta yang menjadi landasan bangunan kesatuan antara suami dan isteri merupakan pancaran dari isi relasi cinta Trinitaris, yaitu relasi cinta antara Bapa, Putera dan Roh Kudus.Â
Keyakinan iman ini akan mengarahkan suami-isteri pada kesadaran yang mendalam dan penuh daya bahwa kesatuan mereka sebagai suami-isteri tidak hanya terbatas pada level daging-manusiawi, tetapi pada ilahi, yaitu pada rahmat pernikahan surgawi. Pada level ini, suami-isteri akan berpartisipasi dalam kehidupan Allah dan membangun persekutuan hidup dengan-Nya.
Manusia Menjadi Pribadi Yang Sempurna
Menurut Paus Yohanes Paulus II, kesempurnaan tubuh akan dialami manusia apabila manusia menghidupi dua tuntutan iman ini: pertama, memberikan diri secara utuh kepada Allah; kedua, hidup dalam persekutuan cinta dengan-Nya.Â
Kedua tuntutan ini memperlihatkan bahwa kesempurnaan tubuh manusia sangat ditentukan oleh keterbukaan, kesediaan dan kesetiaan manusia untuk membangun persekutuan hidup dengan Allah sendiri yang dilandaskan pada kekuatan cinta.Â
Paus Yohanes Paulus II juga menjelaskan bahwa persekutuan cinta yang sempurna sesungguhnya sudah dibangun dan menjadi dasar kehidupan laki-laki dan perempuan pada saat meneguhkan ikatan pernikahan mereka. Pernikahan menjadi model persekutuan hidup duniawi yang menyimbolkan persekutuan sempurna di alam kebangkitan.