Indonesia dianggap sebagai negara agraris oleh dunia. Negara yang terkenal subur dan terletak di garis khatulistiwa, sudah sewajarnya bila Indonesia mampu  memenuhi kebutuhan pangan sendiri, atau dikenal dengan istilah swasembada pangan.
Swasembada pangan selalu menjadi topik yang hot bagi para capres ketika pemilu. Ketika pemilu 2014 yang lalu, baik pasangan Jokowi-JK dan Prabowo-Hatta berjanji menjadikan Indonesia sebagai Negeri swasembada pangan sebagai visi-misinya. Dan ketika Pak Jokowi yang terpilih sebagai presiden, kupingnya pun merasa panas ketika sempat ditanyai oleh Presiden Vietnam "Indonesia, kapan mau beli beras lagi dari Vietnam?" .
Pemerintahan Jokowi kemudian menargetkan swasembada pangan terjadi dalam 4-5 tahun kedepan (2018-2019) dan bila tidak tercapai berjanji tidak akan segan-segan memecat Menteri Pertanian Arman Sulaiman.
Setelah 4 tahun pemerintahan Jokowi berjalan, impian menjadi negara berswasembada pangan masih jauh dari harapan.
Berdasarkan data BPS (lihat gambar 1), volume impor di tahun 2018 seperti beras, gula dan kedelai semakin meningkat dibanding tahun sebelum Pak Jokowi menjabat.
Komoditas beras sempat mengalami penurunan volume import di tahun 2017, namun kembali naik sangat tajam di tahun 2018 yang mencapai level lebih dari 2 juta ton. Pemerintah beralasan untuk menjaga kestabilan harga beras yang semakin tinggi.
Komoditas gula juga mengalami kenaikan signifikan sejak tahun 2016 yang mencapai lebih dari 4 juta ton/tahun. Menteri Perdagangan Enggartiasto Lukita beralasan karena selain jumlah produksi gula nasional yang kurang, kualitas gula nasional belum bisa memenuhi kebutuhan gula industri, seperti dodol menjadi mudah bulukan kalau pakai gula lokal. Saat ini Indonesia menjadi negera pengimpor terbesar gula di dunia mengalahkan Cina.
Kedelai yang sebagian besar dipakai sebagai bahan baku tempe, Â juga tidak menunjukkan trend penurunan dalam volume impor, malah semakin meninggi tiap tahunnya. Â Padahal pemerintah berambisi untuk swasembada kedelai pada tahun 2020.
Tidak semua komoditas pangan mengalami kenaikan volume impor. Impor jagung berhasil mengalami penurunan cukup tajam sejak tahun 2016 akibat produksi jagung nasional yang meningkat.
Namun di saat pemerintah mengklaim pasokan jagung cukup untuk pakan ternak , kekurangan pasokan di lapangan sangat dirasakan oleh industri sehingga terjadi kenaikan harga jagung untuk pakan ternak.
Hal ini menyebabkan peralihan bahan pakan ternak dari jagung ke gandum yang menyebabkan kenaikan impor gandum yang signifikan sejak tahun 2016 (lihat gambar 2).
Sehingga penurunan impor jagung menjadi tidak ada artinya atau tidak berperan dalam perbaikan neraca dagang, bila impor gandum malah semakin meningkat.
Salah satu penyebab masih  impor adalah tidak sinkronnya data produksi pangan antar Kementerian dan institusi pemerintah, khususnya antara Kementan, Kemendag dan BPS. Padahal data ini sangat penting dalam menentukan kebijakan impor Pemerintah.
Sebagai contoh, data perberasan nasional. Kementan memproyeksikan produksi beras nasional sebesar 48 juta ton beras pada 2018. Â BPS juga merilis proyeksi produksi beras nasional yang berjumlah sekitar 32.4 juta ton dengan metode perhitungan yang baru, yaitu kerangka sample area.
Selisih 16 juta ton dalam produksi beras tentu bukan angka yang kecil. Dari perhitungan BPS, Indonesia diperkirakan masih surplus 2.8 juta ton pada 2018. Namun perlu digarisbawahi bahwa baik data dari Kementan dan BPS merupakan data perkiraan, bukan data real.
Disisi lain, Kemendag juga punya perhitungan tersendiri dengan melihat harga pasar dan kondisi cadangan Bulog. Bila harga beras naik dan cadangan beras Bulog menurun, mengindikasikan kekurangan pasokan sehingga perlu impor.
Walaupun perkiraan surplus beras oleh BPS dan Kementan, namun untuk menjaga stabilitas harga beras yang cenderung naik, Pemerintah Indonesia akhirnya memutuskan untuk mengimpor total lebih dari 2 juta ton beras pada 2018.
Perbedaan metode perhitungan dan cara membaca data antar instansi pemerintah tidak bisa dibiarkan berlarut-larut. Pemerintah, khususnya Presiden, perlu menunjukkan leadership untuk menyamakan data antar instasi menuju "one data", dan juga meningkatkan tingkat akurasi data yang dimiliki.
Pemanfaatan teknologi informasi seperti big data yang berisi data-data produksi pangan, konsumsi pangan, harga pasar, stock cadangan nasional dari tahun ke tahun yang dikelola oleh satu pintu, diharapkan bisa menambah akurasi data pemerintah. Partisipasi pemerintah daerah dan petani juga perlu didorong untuk mengumpulkan data pangan yang real di lapangan secara online.
Siapapun Presiden yang terpilih nanti di pemilu 2019, harus mulai menitik beratkan kepada perbaikan managemen data antara instansi pemerintah. Bila tidak, impian swasembada pangan hanya sekedar janji-janji belaka.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H