Mohon tunggu...
Dedy Eka Priyanto Ph.D
Dedy Eka Priyanto Ph.D Mohon Tunggu... Konsultan - Konsultan

Bekerja sebagai konsultan di salah satu big 4 accounting firm dan saat ini tinggal di Tokyo. Senang berbagi pengalaman lewat tulisan

Selanjutnya

Tutup

Kebijakan Pilihan

Swasembada Pangan, Impian dan Realitas

23 Januari 2019   08:00 Diperbarui: 23 Januari 2019   18:56 307
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Hal ini menyebabkan peralihan bahan pakan ternak dari jagung ke gandum yang menyebabkan kenaikan impor gandum yang signifikan sejak tahun 2016 (lihat gambar 2).

Sehingga penurunan impor jagung menjadi tidak ada artinya atau tidak berperan dalam perbaikan neraca dagang, bila impor gandum malah semakin meningkat.

Gambar 2. Data impor jagung dan gandum
Gambar 2. Data impor jagung dan gandum
Akurasi Data

Salah satu penyebab masih  impor adalah tidak sinkronnya data produksi pangan antar Kementerian dan institusi pemerintah, khususnya antara Kementan, Kemendag dan BPS. Padahal data ini sangat penting dalam menentukan kebijakan impor Pemerintah.

Sebagai contoh, data perberasan nasional. Kementan memproyeksikan produksi beras nasional sebesar 48 juta ton beras pada 2018.  BPS juga merilis proyeksi produksi beras nasional yang berjumlah sekitar 32.4 juta ton dengan metode perhitungan yang baru, yaitu kerangka sample area.

Selisih 16 juta ton dalam produksi beras tentu bukan angka yang kecil. Dari perhitungan BPS, Indonesia diperkirakan masih surplus 2.8 juta ton pada 2018. Namun perlu digarisbawahi bahwa baik data dari Kementan dan BPS merupakan data perkiraan, bukan data real.

Disisi lain, Kemendag juga punya perhitungan tersendiri dengan melihat harga pasar dan kondisi cadangan Bulog. Bila harga beras naik dan cadangan beras Bulog menurun, mengindikasikan kekurangan pasokan sehingga perlu impor.

Walaupun perkiraan surplus beras oleh BPS dan Kementan, namun untuk menjaga stabilitas harga beras yang cenderung naik, Pemerintah Indonesia akhirnya memutuskan untuk mengimpor total lebih dari 2 juta ton beras pada 2018.

Perbedaan metode perhitungan dan cara membaca data antar instansi pemerintah tidak bisa dibiarkan berlarut-larut. Pemerintah, khususnya Presiden, perlu menunjukkan leadership untuk menyamakan data antar instasi menuju "one data", dan juga meningkatkan tingkat akurasi data yang dimiliki.

Pemanfaatan teknologi informasi seperti big data yang berisi data-data produksi pangan, konsumsi pangan, harga pasar, stock cadangan nasional dari tahun ke tahun yang dikelola oleh satu pintu, diharapkan bisa menambah akurasi data pemerintah. Partisipasi pemerintah daerah dan petani juga perlu didorong untuk mengumpulkan data pangan yang real di lapangan secara online.

Siapapun Presiden yang terpilih nanti di pemilu 2019, harus mulai menitik beratkan kepada perbaikan managemen data antara instansi pemerintah. Bila tidak, impian swasembada pangan hanya sekedar janji-janji belaka.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Kebijakan Selengkapnya
Lihat Kebijakan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun