Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Anies Baswedan menyatakan, esensi pendidikan dapat diketahui berdasarkan hasil yang diperoleh dari ujian nasional. Melalui semangat kejujuran, siswa dapat memperoleh prestasi yang maksimal seperti tema yang diusung pada UN kali ini, yakni Jujur dan Berprestasi. ”Bahwa pelaksanaan UN itu dilaksanakan dengan semangat yang sama seperti tahun lalu. Kita akan mengukur kinerja peserta didik dalam pendidikan," kata Mendikbud Anies Baswedan di Kantor Kemendikbud Senayan, Jakarta Pusat, Jumat (1/4/2016).
Sama halnya dengan tahun-tahun sebelumnya, ujian nasional masih mengukur kemampuan siswa berdasarkan angka-angka yang didapat. Bedanya, ujian nasional kali ini bukan sebagai syarat kelulusan bagi siswa. Selain itu, angka-angka yang tertera dalam indeks nilai hasil ujian nasional juga digunakan untuk melihat sejauh mana sekolah memiliki integritas terhadap pendidikan yang sudah dijalankan.
Sistem numeric pada ujian nasional ibarat paradox ganda yang mengalami dilema personal dan institusional. Secara personal, siswa dan guru akan terlibat dalam kepentingan masing-masing. Siswa menginginkan nilai dengan angka tertinggi sebagai pengakuan bahwa dia berhasil, sedangkan guru menginginkan keberhasilan proses sebagai dokumentasi portofolio keberhasilan pembelajarannya.
Secara institusional, sekolah memperoleh ketuntasan integritas jika mendapatkan angka tertinggi. Pengakuan secara institusi akan bernilai penting karena mendapatkan prestise tersendiri. Dan yang demikian termasuk akreditasi mandiri yang dilakukan oleh masyarakat. Karena itu, hasil ujian nasional dapat menjadi predikat untuk promosi kepada mereka.
Bagaimanapun, pengakuan adalah legalitas yang sangat mahal, namun bisa begitu mudah diperoleh. Bergantung di sisi yang mana sekolah ingin mendapatkannya. Apakah angka-angka hasil ujian nasional pada siswa ataukah penilaian proses yang sangat sulit dilihat perwujudannya pada siswa.
Dari sisi organisasi pemerintahan, keberhasilan memperoleh indeks angka tertinggi pada ujian nasional dapat meningkatkan diagram makro keberhasilan pendidikan. Oleh karena itu, hasil pada ujian nasional masih menjadi daya tarik untuk meningkatkan rating pendidikan pada skala yang lebih tinggi.
Meskipun Benny Susetyo dalam tulisannya ”Visi Pendidikan yang Berorientasi pada Hasil” (Jawa Pos, 1/4/2016) sudah menyoroti bahwa pendidikan masih besifat mekanistis semata karena masih berorientasi pada hasil berupa angka-angka di ujian nasional. Namun faktanya, angka-angka yang dihasilkan pada ujian nasional masih sangat menarik untuk dijadikan patokan keberhasilan pendidikan.
Oleh karena itu, untuk memperoleh indeks angka yang tinggi pada ujian nasional, terkadang segala cara dilakukan. Padahal, ujian nasional bukan lagi sebagai syarat kelulusan. Selanjutnya, semangat kejujuran yang digelorakan untuk keberhasilan ujian nasional kali ini akan menjadi senjata ampuh untuk menunjukkan keberhasilan kinerja siswa dalam pendidikan. Apakah pendidikan masih berorientasi pada angka semata ataukah angka-angka yang mampu mewakili keberhasilan penilaian proses pada siswa.
Pendidikan pada dasarnya sebuah proses untuk mengubah mentalitas, integritas, dan intelektualitas. Keberhasilan pendidikan dapat terlihat jika ada perubahan pada objek pendidikan. Akan tetapi, ukuran perubahan tidak memiliki ujung sehingga keberhasilan pendidikan adalah pola yang berkelanjutan.
Indikator keberhasilan pendidikan adalah belajar sepanjang hayat. Hasil pendidikan saat ini tidak akan mengubah apapun jika tidak diiringi semangat untuk terus belajar. Dibutuhkan mentalitas yang kuat, bahwa siapapun yang tidak belajar akan tertinggal dan siapapun yang tertinggal dia akan tergilas, baik oleh waktu, keadaan, dan persaingan hidup.
Keberhasilan pendidikan dapat diperoleh dengan adanya integritas antara guru dan siswa. Integritas tidak dilahirkan secara instan, namun melalui proses yang panjang dan konsisten. Dalam banyak kesempatan, masih ada oknum guru yang menjual integritasnya kepada siswa. Dengan alasan kasihan, takut tidak naik, malu nilai jelek, nilai moralitas diabaikan dan kejujuran adalah keniscayaan. Lebih parah lagi, sistem di sekolah membenarkan hal ini terjadi.
Selama paradigma pendidikan masih berorientasi pada hasil, intelektualitas adalah ukuran mutlak bagi pebelajar. Akan tetapi, dalam penilaian proses, hasil adalah bagian kecil dari intelektualitas. Keberhasilan pendidikan tidak ditentukan hanya satu faktor kecerdasan saja, namun juga dipengaruhi oleh kecerdasan-kecerdasan yang lain seperti kecerdasan emosional dan spiritual.
Bagi sebagian siswa, bisa saja memperoleh kecerdasan intelegensi dengan cara-cara yang manipulatif. Akan tetapi, tingkat kecerdasan emosional dan spiritual tidak dapat diperoleh kecuali dengan proses yang panjang dan konsisten.
Pada akhirnya, belajar adalah sebuah proses yang berkelanjutan. Meskipun pendidikan memiliki jenjang, pada dasarnya jenjang pun sebuah proses. Jika dianalogikan ujian nasional sebuah pintu, maka masuklah ke ruangan tanpa merusaknya. Karena ruangan yang pintunya utuh pasti tampak lebih bagus daripada yang pintunya rusak.
Seperti idigiom yang sesuai dengan amal perbuatan. Muara pendidikan akan diketahui seperti halnya kematian yang menjemput secara khusnul atau su’ul khotimah.
*Pengajar di SMK Negeri 1 Kras, Kediri
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H