Mohon tunggu...
Dedi Rosadi
Dedi Rosadi Mohon Tunggu... wiraswasta -

Garut Governance Watch

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Alumni Malang Alumni Sayang

22 Februari 2014   08:52 Diperbarui: 24 Juni 2015   01:35 20
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Cerpen. Sumber ilustrasi: Unsplash

Sesekali topi hitam yang penuh dengan bekas cat warna putih itu dia gunakan sebagai kipas, terik matahari yang setia menemaninya sudah seperti penyemangat hidup yang setiap hari dia jumpai dan rasakan, dengan pakaian kaos warna biru yang dibelakangnya bertuliskan nama salahsatu sekolah negeri sepintas menggambarkan bahwa dia adalah alumni sekolah tersebut.

Cab...cab..cab.. suara cangkul bersentuhan dengan adukan pasir yang telah dicampur semen dan air.

"Hei, Cepat! suara teriakan dari pekerja lain yang kelihatannya sudah lama menunggu hasil adukannya.

Tanpa berkata apa-apa adukan pasir dan semen pun dia masukan pada ember-ember yang sudah tersedia disekelilingnya.

__oOo__

Ali adalah seorang remaja lulusan sekolah menengah atas di sebuah sekolah yang berstatus negeri. Tanpa terpikirkan sebelumnya dan tercita-citakan olehnya semuanya harus berakhir menjadi seorang laden tukang bangunan. Walaupun sebenarnya tidak ada yang salah pada pekerjaan apapun asalkan halal.

Sebenarnya Ali termasuk anak pintar disekolahnya, semua pelajaran selalu mendapat nilai baik bahkan Ali seperti halnya teman-teman seangkatannya sama mempunyai cita-cita. Cita-cita yang sudah terbayangkan semenjak Ali duduk dibangku Sekolah Dasar yaitu sebagai seorang dokter. Tapi, ketika dia mencoba mengingat apa yang menjadi cita-citanya itu, saat ini Ali hanya bisa tersenyum dan bertanya pada diri sendiri;

Kenapa guru-guruku menyuruhku untuk bercita-cita?

Kenapa aku harus bersekolah, jika hanya untuk mengucapkan cita-cita?

Kenapa ada sekolah, jika diluar sana kursus-kursus menjamur?

Kenapa aku harus bersekolah jika guruku menyuruh kursus?

Apakah aku salah menaruh harapan hanya pada sekolahku?

Aku yang bego atau guruku yang bego?

Kenapa dahulu guru-guruku selalu memberi semangat dengan menceritakan para alumni yang telah duduk di perguruan tinggi yang terkenal?

Kenapa guru-guruku bangga?

Apakah mungkin sekolahku sudah seperti tabungan? Guru penabung dan murid-murid jadi celengannya?

Dan apakah mungkin aku saat ini, sama seperti para seniorku yang benasib sama denganku? tanpa diingat, diceritakan bahkan disembunyikan ceritanya dihadapan murid-murid baru? laksana barang ruksak yang dibuang dari pabrik karena tidak seperti yang diharapkan oleh sekolah dan guruku.

Pertanyaan-pertanyaan itu sampai Ali bekerja menjadi kuli bangunan masih menjadi misteri, pertanyaan itu sebenarnya sudah muncul dalam pikirannya ketika tiga tahun kebelakang Ali mengikuti ujian masuk perguruan tinggi dan tidak lolos. Sedangkan, teman-temannya yang mengambil bimbingan belajar diluar sekolah dan bisa dibilang secara ekonomi jauh di atas Ali semuanya sekarang sudah duduk di bangku kuliah.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun