Sekilas tentang filsafat stoik. Filsafat stoik berasal dari Yunani Kuno. Filsafat yang secara eksplisit membunuh stigma bahwa filsafat hanya membicarakan hal-hal abstrak, tapi nyatanya stoik membicarakan hal-hal bersifat praktis misalnya tata cara hidup bahagia. Kebahagiaan seperti apa? Kebahagiaan yang dapat kita bayangkan sebagai jiwa yang tenang dan tentram. Digambarkan oleh kaum stoa sebagai situasi negatif, yakni “tiada gangguan”.
Hemat saya, bahagia adalah di saat kita tidak terganggu dengan apa pun. Bahasa stoiknya yaitu apatheia. Tokoh-tokoh stoik yang dapat dijadikan rujukan untuk bacaan lebih jauh, di antaranya Marcus Aurelius, Epictetus dan Seneca. Youtuber yang telah membahas ini, Martin Suryajaya, Ferry Irwandi dan Channel Satu Persen. Pemikiran stoik memang masuk pada rana psikologi juga, ada sebagian yang memisahkan. Itu tidak penting, yang terpenting kita dapat menerapkan ajaran stoik sebaik mungkin.
Referensi lain berupa film, yaitu film Gladiator (2000). Walaupun tidak mengena secara total untuk diri saya, tetapi setidaknya saya belajar dari film tersebut bahwa manusia perlu untuk mundur sementara, lalu buktikan dengan bijak. Belajar untuk tidak gila kekuasaan, meskipun sedang gawat darurat. Belajar mengendalikan diri dari hasrat kekuasaan, egoisme, hingga perasaan empati.
Inti dari filsafat stoik dalam analisa saya, menggarisbawahi konsep “sewajarnya”. Dapat juga disebut gagasan, trik, atau prinsip. Sewajarnya dapat diartikan lain seperti menempatkan sesuatu pada tempatnya atau sudah seharusnya ditempatkan pada sesuatu yang memang tempatnya.
Kondisi saat ini, saya merasa lebih tenang, tentram, dan nyaman ketika mengetahui satu kata tersebut. Jadi saya terapkan dalam kehidupan seperti saya mencintai, sewajarnya.
Saya membenci, sewajarnya. Saya marah, sewajarnya. Saya bercita-cita, sewajarnya. Saya kecewa, sewajarnya. Saya peduli, sewajarnya. Saya benci, sewajarnya. Saya senang, sewajarnya.
Dengan konsep yang sederhana itu, saya berusaha tidak ikut campur dengan hal-hal di luar kendali atau perihal eksternal manusia itu sendiri. Apa saja yang di luar diri manusia atau sesuatu yang bersifat eksternal? Seperti persepsi orang lain terhadap kita.
Kita tidak dapat mengendalikan itu. Kita hanya dapat mengendalikan respon dalam diri kita sendiri atas hal-hal eksternal di luar kendali dengan cara tenang, sabar, ikhlas, dan positif dalam berpikir maupun bertindak.
Kita dapat membunuh diri sendiri dalam pikiran atau memanipulasinya. Memang konsep ini sederhana sekali, namun dalam realita atau penerapannya tidaklah mudah. Semangat untuk teman-teman yang suka overthinking dan hidupnya tidak seperti yang dibayangkan.
*Dilarang COPAS, Wajib Mengutip Tulisan ini
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H