Bertengkar dengan pikiran sendiri menjadi rutinitas saya. Rutinitas berarti sesuatu yang sering saya rasakan dan lakukan. Membunuh pikiran sendiri bukan mengarahkan pada pembunuhan secara total; menjadi gila atau memukul kepala hingga tak ingat apa pun. Membunuh pikiran yang dimaksud adalah membunuh hal-hal yang menyiksa diri sendiri. Membunuh sesuatu yang menguras energi, membuat waktu terasa singkat, pada akhirnya membuahkan overthinking yang berkepanjangan. Teman-teman yang telah lama mengenal saya, pasti melihat perbedaan saya yang dahulu dengan yang sekarang.
Dahulu saya menjadi manusia yang cenderung sensitif, berpikiran negatif dan tak lihai mengendalikan emosi. Saya yang dahulu, mempunyai sikap peduli dengan siapa pun. Saya sangat over-altruistik, sehingga melukai diri terlalu dalam, sampai pada titik berkarat yang sulit kembali seperti semula. Luka yang terlalu dalam, disebabkan dengan harapan yang berlebih dan berakhir pada pengkhianatan yang tragis, menyedihkan dan menanggung semuanya sendiri.
Ya, benar-benar sendirian.
Saya berusaha semaksimal mungkin, membuat orang lain tertawa, tidak mampu melihat orang lain kesusahan, menjadi selalu ada, dan menolong ketika dalam situasi sulit.
Namun, saya melakukan semua itu tidak secara sukarela. Saya berharap orang yang saya perlakukan seperti itu, memperlakukan hal yang sama. Namun nyatanya tidak sama sekali. Harapan yang muncul dari pikiran itu, yang membunuh saya secara perlahan selama enam tahun terakhir ini.
Harapan yang sama sekali tidak perlu, bagaimana mungkin saya berbuat baik, lalu mengharapkan orang juga baik dengan terhadap saya?
Tapi pada akhirnya, saat ini saya belum mati selama-lamanya. Saya hanya mati suri. Berusaha bangkit atas dorongan dari diri saya yang lain. Diri yang lain, berusaha memanipulasi pikiran-pikiran yang mencoba membunuh saya secara perlahan.
Tidak sedikit teman-teman bertanya, atau sekedar menyapa, “Ded, kemana aja. Ded, gemukan. Ded, lebih ceria sekarang. Ded, kayaknya happy terus”.
Saya yang saat ini memiliki filosofi hidup yang sederhana. Saya membaca filsafat stoik. Walaupun tidak setekun seperti Romo Setyo dan Henry Manampiring dalam mengkaji stoik. Saya senang jika membaca buku Meditations karya Marcus Aurelius, membaca karya Epictetus Encheiridion, dan buku Romo Setyo Ataraxia.
Saya bahagia ketika membaca buku komtemporer masa kini karya Henry Manampiring yang berjudul Filosofi Teras yang pastinya terinspirasi dari filsafat stoik. Lengkap dengan wawancara psikolog dan dokter. Walaupun belum selesai, tapi motivasi mengapa saya membaca bukunya itu dikarenakan banyak term-term “overthinking” yang ditonjolkan dan cukup relavan dengan kondisi anak muda saat ini.