Mohon tunggu...
dedi efendi
dedi efendi Mohon Tunggu... Guru - Pengawas Madrasah

Pendidik, peneliti, dan motivator berdedikasi mencetak generasi unggul lewat inovasi pendidikan berbasis nilai. Sebagai Pengawas Madrasah, aktif dalam penelitian, pengembangan kurikulum, dan publikasi ilmiah. Berkomitmen mendorong transformasi pendidikan berbasis teknologi-kearifan lokal serta peningkatan profesionalisme guru untuk kemajuan bangsa.

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan Pilihan

Dari Pembiasaan ke Kesadaran: Transformasi Pendidikan Karakter Masa Kini

21 Januari 2025   14:48 Diperbarui: 21 Januari 2025   15:04 75
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Pendidikan. Sumber ilustrasi: PEXELS/McElspeth

Pendahuluan

Pendidikan karakter sering disebut sebagai tulang punggung pembentukan generasi muda yang unggul. Namun, seiring perkembangan zaman, pertanyaan besar tetap muncul: apakah pendidikan karakter yang selama ini diterapkan benar-benar efektif? Baru-baru ini, pemerintah melalui penyampaian Surat Edaran Bersama (SEB) tiga menteri (Menteri Dalam Negeri, Menteri Pendidikan Dasar dan Menengah dan Menteri Agama) kembali menggulirkan kebijakan Penguatan Pendidikan Karakter melalui Pembiasaan di Satuan Pendidikan. Kebijakan ini menekankan pentingnya Gerakan Tujuh Kebiasaan Anak Indonesia Hebat, seperti bangun pagi, beribadah, dan belajar.

Sepintas, kebijakan ini terlihat menjanjikan. Namun, jika kita telaah lebih jauh, kebijakan tersebut seperti mengulang pola lama yang sudah pernah diterapkan tanpa memberikan solusi baru terhadap akar masalah yang lebih mendasar: cara berpikir siswa, guru, dan masyarakat yang belum berubah. Alih-alih menjadi jawaban atas tantangan zaman, kebijakan ini justru berpotensi menjadi beban tambahan jika tidak disertai strategi yang tepat.

Mengapa Kebijakan Ini Terlihat "Usang"?

Kebijakan yang mengandalkan pembiasaan pada dasarnya tidak salah. Namun, substansi yang ditawarkan SEB ini---seperti kegiatan senam pagi, doa bersama, dan menyanyikan lagu kebangsaan---bukanlah hal baru. Sekolah-sekolah di Indonesia sudah melaksanakan kegiatan serupa sejak lama. Masalahnya, program ini lebih sering menjadi formalitas yang tidak menggugah kesadaran mendalam siswa tentang mengapa kebiasaan ini penting untuk masa depan mereka.

Mengutip Aristoteles, "We are what we repeatedly do. Excellence, then, is not an act, but a habit." Namun, kebiasaan itu sendiri perlu dibangun dengan pemahaman yang mendalam. Kebijakan pendidikan karakter yang hanya menekankan rutinitas tanpa menggugah kesadaran tidak akan membawa siswa pada keunggulan sejati.

Lantas, mengapa kebijakan ini terasa kurang segar? Salah satu jawabannya adalah kurangnya inovasi dalam pendekatan. Dunia berubah dengan cepat, tetapi program pendidikan karakter masih berjalan di tempat. Di sisi lain, tantangan pendidikan semakin kompleks, mulai dari pengaruh teknologi, adiksi gawai, hingga krisis moral yang sulit dijawab dengan pendekatan pembiasaan saja.

Tantangan Implementasi di Lapangan

1. Infrastruktur dan Fasilitas yang Terbatas

Tidak semua sekolah memiliki fasilitas yang memadai untuk mendukung pelaksanaan program ini. Di daerah terpencil, bahkan sarana dasar seperti ruang kelas yang layak masih menjadi masalah, apalagi untuk mendukung kegiatan tambahan seperti senam pagi atau ekstrakurikuler.

2. Kompetensi Guru dan Tenaga Pendidik

Guru sering kali menghadapi tuntutan administrasi yang berat, sehingga waktu dan energi mereka untuk mengelola program pendidikan karakter menjadi sangat terbatas. Selain itu, banyak guru yang belum mendapat pelatihan memadai untuk mengintegrasikan pendidikan karakter dengan pola pikir kritis siswa.

3. Pola Pikir yang Belum Terbenahi

Fokus utama pendidikan di Indonesia masih berkutat pada pencapaian akademik. Orang tua, siswa, bahkan guru sering menganggap pendidikan karakter hanya sebagai tambahan, bukan bagian penting dari kurikulum utama. Akibatnya, program pendidikan karakter sering kali dijalankan hanya untuk "menyenangkan" atasan, bukan karena kesadaran mendalam.

Mengutip Socrates, "Education is the kindling of a flame, not the filling of a vessel." Pola pikir yang belum berubah ini mencerminkan pendekatan pendidikan yang hanya berorientasi pada pengisian pengetahuan, tanpa menggugah kesadaran dan pemahaman mendalam siswa tentang nilai-nilai yang diajarkan.

Solusi: Waktunya Berinovasi!

Agar pendidikan karakter benar-benar memberikan dampak signifikan, kita membutuhkan pendekatan yang lebih strategis dan menyeluruh. Berikut beberapa solusi yang dapat diterapkan:

1. Ubah Fokus ke Pendidikan Pola Pikir

Daripada sekadar mendorong pembiasaan, ajak siswa memahami alasan di balik kebiasaan itu. Contohnya, daripada hanya meminta mereka bangun pagi, buat diskusi interaktif tentang manfaat kebiasaan tersebut terhadap produktivitas dan kesehatan. Pendekatan ini akan membuat siswa lebih sadar dan termotivasi.

Seperti yang dikatakan oleh John Dewey, "Education is not preparation for life; education is life itself." Pendidikan karakter harus menjadi bagian integral dari kehidupan siswa, bukan sekadar aktivitas tambahan.

2. Maksimalkan Teknologi untuk Pendidikan Karakter

Teknologi dapat menjadi alat yang kuat untuk menanamkan nilai-nilai karakter:

  • Aplikasi Edukasi: Gunakan aplikasi yang memantau kebiasaan siswa, seperti mencatat kebiasaan positif harian atau memberikan penghargaan digital untuk pencapaian tertentu.

  • Konten Interaktif: Buat video, simulasi, atau permainan edukasi yang mengajarkan nilai-nilai seperti kerja sama, toleransi, dan disiplin.

3. Perkuat Kerja Sama Catur Pusat Pendidikan

Pendidikan karakter tidak bisa hanya menjadi tanggung jawab sekolah. Keluarga, masyarakat, dan media harus ikut berperan:

  • Keluarga: Adakan pelatihan parenting untuk membantu orang tua menerapkan nilai-nilai karakter di rumah.

  • Masyarakat: Galakkan program berbasis komunitas, seperti kerja bakti atau kegiatan sosial yang melibatkan siswa.

  • Media: Gunakan platform media sosial untuk menyebarkan narasi positif dan inspiratif tentang pendidikan karakter.

4. Evaluasi yang Berbasis Data dan Partisipasi

Evaluasi pendidikan karakter tidak bisa hanya berupa laporan administratif. Libatkan siswa dalam proses evaluasi, misalnya dengan mengadakan survei atau forum diskusi. Gunakan data ini untuk memperbaiki program secara berkelanjutan.

Kesimpulan: Pendidikan Karakter yang Relevan untuk Zaman Ini

Pendidikan karakter adalah kunci untuk membentuk generasi yang siap menghadapi tantangan global. Namun, kebijakan lama yang hanya mengandalkan pembiasaan tidak akan cukup untuk menjawab persoalan yang semakin kompleks. Dengan pendekatan baru yang berfokus pada pola pikir, memanfaatkan teknologi, dan melibatkan seluruh elemen masyarakat, pendidikan karakter dapat menjadi lebih relevan dan berdampak.

Seperti yang pernah diungkapkan oleh Nelson Mandela, "Education is the most powerful weapon which you can use to change the world." Pendidikan karakter yang kuat tidak hanya membentuk individu yang baik, tetapi juga menciptakan masyarakat yang lebih bermartabat.

Saatnya kita berhenti mengulang pola lama dan mulai membangun strategi baru untuk membentuk generasi muda yang tidak hanya berkarakter, tetapi juga berpikir kritis dan inovatif. Bagaimana menurut Anda? Apakah pendidikan karakter di sekolah Anda sudah relevan dengan tantangan zaman?

Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana
Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun