Mohon tunggu...
dedi efendi
dedi efendi Mohon Tunggu... Guru - Pengawas Madrasah

Pak DE adalah guru yang mendedikasikan hidupnya untuk meraih keridhaan Allah.

Selanjutnya

Tutup

Filsafat Pilihan

Mencari Kebermaknaan Ber-Tuhan di Tengah Keramaian Dunia: Refleksi atas Ateisme Praktis

4 Januari 2025   07:09 Diperbarui: 4 Januari 2025   07:09 46
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Filsafat. Sumber ilustrasi: PEXELS/Wirestock

Pendahuluan
Kehidupan modern telah membawa manusia pada berbagai kemajuan teknologi, ilmu pengetahuan, dan akses tanpa batas terhadap informasi. Namun, di balik kemajuan ini, ada sebuah fenomena yang sering tidak disadari: pengaburan makna keber-Tuhanan dalam keseharian manusia. Dalam kajian spiritualitas kontemporer, fenomena ini dikenal sebagai "ateisme praktis". Bukan berarti seseorang secara terang-terangan menolak Tuhan, tetapi hidupnya dijalani tanpa melibatkan Tuhan, tanpa kesadaran akan kehadiran-Nya. Ateisme praktis mencerminkan gaya hidup yang meminggirkan spiritualitas, hanya fokus pada yang dapat dirasakan secara material dan rasional.

Konsep ini pernah dijelaskan dengan mendalam oleh Fahruddin Faiz, seorang ahli filsafat dari Yogyakarta yang sedang digandrungi anak-anak muda Indonesia, yang menggambarkan bahwa meskipun seseorang mengaku beriman, tidak jarang dia menjalani hidup seolah-olah Tuhan tidak hadir. Di era yang serba cepat ini, ateisme praktis menjadi tantangan besar bagi mereka yang ingin menjaga keseimbangan spiritual di tengah hiruk-pikuk modernitas. Artikel ini akan membahas fenomena ini, menggali akar masalahnya, dan menawarkan langkah-langkah praktis untuk mengembalikan Tuhan ke pusat kehidupan sehari-hari.

Ateisme Praktis: Hidup Seolah-olah Tuhan Tidak Ada

Ateisme praktis berbeda dengan ateisme teoritis. Jika ateisme teoritis secara eksplisit menolak keberadaan Tuhan, ateisme praktis lebih halus dan sering tidak disadari. Misalnya, seseorang yang sibuk mengejar karier, meraih harta, atau membangun popularitas, tetapi tidak melibatkan Tuhan dalam setiap keputusan dan tindakannya, dapat disebut sebagai ateis praktis.

Ciri-ciri ateisme praktis mencakup:

  1. Mengutamakan materi di atas segalanya: Kehidupan hanya berputar pada pencapaian duniawi tanpa mempertimbangkan aspek spiritual.
  2. Formalitas dalam ibadah: Shalat dilakukan tanpa khusyuk, hanya sebatas rutinitas.
  3. Minim refleksi: Tidak ada ruang untuk introspeksi atau menghubungkan tindakan sehari-hari dengan kehendak Tuhan.
  4. Ketergantungan pada teknologi: Obsesi pada media sosial, hiburan digital, atau gadget sering kali mengalihkan perhatian dari nilai-nilai spiritual.

Mengapa Makna Keber-Tuhan-an Tersisih di Era Modern?

Fenomena ini dapat dilihat dari beberapa sudut pandang:

  1. Dominasi Materialisme

Dunia modern menempatkan kesuksesan duniawi sebagai standar utama kebahagiaan. Banyak orang merasa puas hanya dengan capaian materi tanpa mempertanyakan apa makna di baliknya.

  1. Hedonisme dan Distraksi Teknologi

Gaya hidup hedonis didukung oleh kemajuan teknologi yang menawarkan kenyamanan instan. Misalnya, media sosial yang memberikan validasi diri melalui likes dan komentar, menggeser rasa syukur kepada Tuhan menjadi rasa puas terhadap pengakuan manusia.

  1. Minimnya Pendidikan Spiritual

Pendidikan formal sering kali lebih fokus pada pengetahuan akademik, sementara pendidikan spiritual sering dianggap sebagai tanggung jawab pribadi. Akibatnya, banyak orang dewasa yang tidak memahami pentingnya kehadiran Tuhan dalam setiap aspek kehidupan.

Menghadirkan Kembali Makna Keber-Tuhan-an dalam Kehidupan Sehari-hari

Mengatasi ateisme praktis bukanlah hal yang mudah, terutama di tengah tekanan dunia modern. Namun, langkah-langkah kecil dapat dilakukan untuk membawa kembali Tuhan dalam kehidupan sehari-hari:

  1. Refleksi Harian

Luangkan waktu untuk merenung setiap hari, misalnya sebelum tidur. Tanyakan pada diri sendiri: "Apakah saya sudah melibatkan Tuhan dalam tindakan saya hari ini?"

  1. Memulai Hari dengan Kesadaran Keber-Tuhan-an

Awali setiap pagi dengan doa yang tulus, bukan sekadar formalitas. Jadikan momen pagi sebagai waktu untuk memperbarui niat dan memfokuskan hidup pada ridha Tuhan.

  1. Meningkatkan Kualitas Ibadah

Ibadah bukan hanya tentang rutinitas, tetapi tentang menghadirkan hati. Misalnya, dalam shalat, usahakan untuk benar-benar fokus dan memahami makna dari setiap gerakan dan bacaan.

  1. Mengintegrasikan Nilai Spiritual dalam Aktivitas Sehari-hari

Ketika bekerja, belajar, atau berinteraksi dengan orang lain, tanyakan pada diri sendiri: "Apakah tindakan ini sesuai dengan nilai-nilai yang Tuhan ridai?"

  1. Kurangi Ketergantungan pada Teknologi

Batasi waktu untuk aktivitas yang tidak produktif, seperti scrolling media sosial atau binge-watching. Gunakan waktu tersebut untuk hal-hal yang mendekatkan diri kepada Tuhan, seperti membaca Al-Qur'an atau berdzikir.

  1. Berkomunitas dengan Orang-orang yang Menginspirasi

Bergaul dengan komunitas yang mendukung pengembangan spiritual dapat membantu menjaga semangat dan konsistensi.

Tantangan dan Peluang di Era Teknologi AI

Kehadiran teknologi AI membawa tantangan baru. Di satu sisi, teknologi ini dapat membuat manusia semakin jauh dari nilai-nilai spiritual karena menggantikan banyak aspek kehidupan manusia dengan otomatisasi. Namun, teknologi juga bisa menjadi alat untuk mendekatkan diri kepada Tuhan, seperti menggunakan aplikasi pengingat shalat atau belajar agama melalui platform online.

Kuncinya adalah bagaimana manusia mengelola teknologi ini agar tetap menjadi sarana, bukan tujuan. AI seharusnya tidak menggantikan kesadaran manusia untuk selalu melibatkan Tuhan dalam hidupnya.

Penutup: Saatnya Merefleksikan Hidup Kita

Di tengah gemuruh kehidupan modern, jangan sampai kita kehilangan yang paling esensial: Tuhan. Ateisme praktis mungkin tidak terlihat, tetapi dampaknya bisa begitu nyata dalam mengubah arah hidup kita. Dengan menghadirkan kembali Tuhan dalam setiap langkah, kita bukan hanya menemukan makna hidup, tetapi juga meraih kebahagiaan yang sejati.

Seperti kata Fahruddin Faiz, "Persentasekanlah hidup Anda, kira-kira berapa persen Tuhan terlibat?" Jawaban atas pertanyaan ini adalah refleksi mendalam tentang bagaimana kita menjalani kehidupan ini. Jangan biarkan Tuhan tersisih. Mari kita kembalikan Dia ke pusat hidup kita.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Filsafat Selengkapnya
Lihat Filsafat Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun