Mohon tunggu...
Dedi  Djanuryadi
Dedi Djanuryadi Mohon Tunggu... Jurnalis - Man Born is free but everywhere in chains

Penggiat jurnalistik, public relations, fotografi, modelling, serta event organizer.

Selanjutnya

Tutup

Politik Pilihan

Mewaspadai Para Uncal di Ladang Pilkada

11 September 2020   10:36 Diperbarui: 18 Agustus 2022   12:32 213
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi :  Ernest Zarzuela/http://www.themanitoban.com/

Banyak faktor yang membuat seseorang berambisi jadi kontestan pemilihan kepala daerah (pilkada). Biasanya karena  idealisme, ambisi pribadi, kepentingan kelompok, melanjutkan atau menyambung kekuasaan, hingga kekayaan materil.

Kekayaan materil  berupa  dana cash dan asset perusahaan. Dianggap  faktor  paling dominan untuk merasa  "pe-de" ikut tampil di gegap gempitanya hajatan demokrasi lima tahunan negeri ini. 

Dengan limpahan dana yang dimilikinya itu, ia pun merasa yakin akan mendapat simpati  rakyat lewat  dukungan berbagai kekuatan politik yang menopangnya. 

Padahal keyakinannya itu hadir tanpa diimbangi  oleh  pengalaman politik praktis yang seharusnya dimiliki oleh setiap kandidat yang ingin terjun di ganasnya belantara kekuasaan  tersebut.

Saat kecil  mungkin kita masih ingat  cerita  fabel popular anak-anak yang berkisah tentang kecerdikan Sang Kancil dalam memperdaya Sang Monyet yang akan menipunya?  Nah, di  arena pilkada  ini pun ceritanya tidaklah jauh berbeda.

Dalam bahasa Sunda, Kancil itu disebut Uncal. Namun  di arena pilkada saat ini, Uncal itu  merupakan akronim plesetan dari  "Usaha Nilep Calon". 

Yang diperdaya Uncal saat musim pilkada ini adalah para calon atau kandidat pemimpin daerah yang dianggapnya  berduit, tapi kemampuan berpolitiknya terbatas. Kelemahan politik si kandidat berduit itulah yang dimanfaatkan para Uncal untuk mengeruk  dana yang selalu siap disediakannya. Siapa  saja para Uncal  itu? Ini pantauan nyata semasa penulis jadi pengelola Media Centre salah satu kandidat pilkada di sebuah kabupaten di Jawa Barat (2017).

1.  Relawan

Uncal  jenis ini berasal dari lingkungan terdekat si calon sendiri. Ada kerabat dekat, kenalan sekampung, teman masa kecil, teman semasa sekolah dulu, teman pergaulan masa remaja, hingga teman sehobi.

Modus yang dilakukan Uncal ini skupnya masih terbilang recehan.  Hanya sebatas minta ditraktir makan-makan atau minta aksesoris pilkada saja (baju, kaos, souvenir uang bensin atau bantuan usaha kecil-kecilan yang sedang dikelolanya). 

Uncal ini menjanjikan akan membawa sejumlah masyarakat dengan cara mengumpulkan foto copy-an Kartu  Tanda Penduduk (KTP) masyarakat tertentu yang disebutnya akan memberikan dukungan pada si kandidat. 

Padahal kenyataannya, sampai masa pemilu  berakhir, biasanya janji-janji mereka tidak sepenuhnya ditepati. Upaya pertelikungan yang dianggapnya receh dan kagok tersebut, tidak begitu dipersoalkan oleh si kandidat.

2. Tim Sukses

Uncal ini merupakan hasil rekrutan  si kandidat sendiri yang diambil dari orang-orang yang dianggapnya memiliki kapasitas berpolitik meyakinkan. Seperti  para penggiat partai, akademisi,  pengamat politik, praktisi survey atau pun hanya sekedar teman di organisasi profesi yang dinilainya pandai berbicara politik. 

Nah, karena merasa dibutuhkan, kelompok ini modusnya lebih terorganisir. Selain minta bayaran sesuai kontrak kerja, mereka juga meminta berbagai fasilitas operasional yang harus disediakan sesuai kebutuhan yang diinventarisirnya (dana recruiting massa, transportasi, jaminan kesehatan, akomodasi, konsumsi).

Kelompok ini selalu tampak paling  ngotot dalam memperjuangkan kepentingan si kandidat. Baik disaat berurusan dengan KPUD (Komisi Pemilihan Umum Daerah), atau pun dengan para  pesaing si kandidat.

Padahal sering luput dari pengamatan si kandidat,  beberapa oknum tim sukses ini ada yang main mata dengan pesaing lain. Diam-diam mereka mengkalkulasi kekuatan-kekuatan  diantara kandidat yang sedang  bersaing. 

Sering kejadian, oknum mbalelo ini hengkang meninggalkan kandidat yang pertama kali didukungnya untuk loncat ke kandidat lain yang lebih kuat posisi politik dan finansialnya.

3. Makelar Kartu

Uncal jenis  ini merupakan para petualang yang berperilaku layaknyai seorang salesman. Bermodalkan foto copy-an ribuan KTP, ia menawarkan pada si kandidat dukungan (yang seolah-olah) resmi dari masyarakat yang berhasil dikumpulkannya. 

Untuk sejumlah foto copy-an KTP yang disetorkannya itu, ia minta bayaran nominal puluhan ribu rupiah untuk per kepalanya. Dalam prakteknya, tawaran itu tidak hanya diajukan ke satu kandidat saja, melainkan semua kandidat didatanginya. 

Tentunya hasilnya juga bohongan. Dukungan fiktif itu hanyalah akal-akalan meraup keuntungan finasial dengan memanfaatkan amibisi tak terkontrol dari para kandidat.

4. Influencer Amatir (simpatisan)

Uncal ini datang berseliweran. Ada yang dari sekitaran daerah tempat si kandidat berdomisili dan ada juga yang datang dari luar kota. Bahkan ada yang tidak tentu asal-usul rimbanya. 

Mereka memberi berbagai macam informasi yang terdengar sangat merdu di telinga si kandidat. Mulai dari informasi pendukung, informasi kekuatan dan kelemahan para pesaing, hingga kemasalah klenik yang menjanjikan hadirnya  kekuatan ghaib yang bisa memenangkan pertarungan si kandidat. Para influencer alam ghaib ini biasanya meminta imbalan berupa dana operasional.

5. Lembaga Survey

Uncal ini berbau white collar crime. Pertelikungan Kerah Putih tingkat tinggi. Dengan hasil survey yang dikelolanya itu, ia menjanjikan prediksi seolah-olah data-datanya  itu valid dan bisa memuluskan jalan si kandidat untuk  meraih kemenangan yang diharapkannya. 

Padahal kejadiannya tidaklah seperti itu. Data-datas survey yang disodorkannya itu, merupakan data-data lama yang direcovery seperti hasil penelitian baru. 

Dalam artian, si lembaga survey tersebut sama sekali tidak melakukan survey baru.  Dengan hanya ongkang-ongkang kaki, ia  menyudorkan data-data lama yang direkayasanya seperti data-data baru yang disesuaikan dengan masalah pendataan pemilu yang diperlukan si kandidat. 

Untuk hasil kerja kamufllasenya itu, ia mendapat bayaran dalam jumlah nominal sangat besar.  Dari awal survey hingga selesai, ia dibayar  hingga milyaran rupiah banyaknya.

6. Partai Pendukung

Uncal jenis ini berupa kegiatan akal-akalan berjamaah yang dilakukan  para pejabat partai yang mendukung si kandidat. Kebesaran nama partai digunakan para pemimpin partai tersebut untuk meminta sejumlah dana dalam jumlah  besa rdengan alasan untuk  keperluan konsolidasi dan penggerakan massa, padahal dana tersebut tidak mengucur ke akar rumput partai yang diyakini si kandidat bakal mendukungnya.

Tidak menutup kemungkinan, malahan banyak terjadi, kebesaran nama partainya tersebut dijual pula ke semua kandidat yang sedang bersaing. 

Sampai-sampai pernah terjadi, ada salah satu kandidat yang sampai jebol keuangannya, gara-gara harus membayar beberapa partai yang diajak mendukungnya. 

Ujung-ujungnya, setelah masa pemilu berakhir, hasilnya pun nol besar. Ini dimungkinkan karena dukungan partai tidak didukung oleh massanya yang malah diarahkan para pemimpin partainya untuk memberikan suara ke kandidat=kandidat lainnya. .

7. Partai Pengusung

Nah, ini Uncal yang berperilaku sistemik. Untuk bisa lolos, biasanya seorang kandidat memerlukan dua atau tiga partai pengusung yang memiliki kuota kursi di DPR yang jumlahnya dapat memenuhi persyaratan kuota yang ditentukan KPUD. 

Untuk mendapatkan dukungan partai pengusung tersebut, si kandidat haruslah menggelontorkan sejumlah dana hingga puluhan milyar rupiah banyaknya. Persyaratan utama untuk mendapat dukungan partai pengusung adalah si kandidat harus memegang surat resmi yang ditandatangani Pimpinan dan Sekeretaris Jendral (Sekjen) Partai Pusat. 

Modus pertelikungan Uncal  jenis ini berupa penerbitan surat ganda keputusan Pengurus Partai Pusat (P3) yang dibayar si kandidat dalam jumlah milyaran rupiah. Prakteknya, P3 menerbitkan dua surat resmi Pimpinan Pusat. 

Satu surat resmi untuk partai yang berani membayar mahal, ditandatangani Pimpinan dan Sekjennya. Sedangkan untuk partai yang membayar di bawahnya, diberikan surat resmi Pimpinan Pusat yang ditandatangani Pimpinan dan Wakil Sekretraris Jendral (Wasekjen)nya. 

Pihak yang disebut terakhir ini sering tidak menyadarinya.  Sedangkan berdasarkan Peraturan Komisi Pemilihan Umum Republik Indonesia (PKPU-RI) No. 1 Tahun 2020Pasal 1 Ayat 15. Yang memenuhi syarat pencalonan sebagai calon kandidat dalam pilkada adalah  kandidat yang memegang surat resmi yang ditandatangani oleh Pimpinan dan Sekjen Pusat Partai saja. 

Suatu kejahatan tanpa tedeng aling-aling, tanpa ada rasa malu atau merasa bersalah, secara terang-terangan dipertontonkan dihadapan publik yang memperhatikannya. 

Alasan politis yang dikeluarkannya hanyalah berupa sebuah tepisan mudah yang menyatakan bahwa masalah urusan lolos meloloskan kandidat itu mutlak kebijakan KPUD saja. P3 hanyalah mengeluarkan surat tanda pengsungan partai dan berkilah tidak berwenang melakukan hal  itu.

Politik Transaksional

Berkeliarannya para Uncal  di ladang pilkada tersebut, menandakan bahwa aksi  transaksi politik untuk pemenangan  pimpinan kepala daerah masih berlanjut hingga saat ini. Politik yang lebih dikenal sebagai "Politik Dagang Sapi" ini jelas-jelas tidak sehat.

Politik Dagang Sapi dapat diartikan sebagai bentuk pemufakatan politik diantara partai, bisa juga dilakukan oleh sebuah partai dengan pihak-pihak tertentu melakukan tawar-menawar atau konsensi-konsensi lainnya untuk memenuhi keinginan masing-masing pihak yang terlibat didalamnya (https://brainly.co.id-2017). 

Praktek pemanfaatan dana yang disediakan para kandidat dapat dikategorikan sebaga tindakan "money politic"  yang jelas sangat  tidak diperbolehkan oleh aturan perundangan-undangan yang mengaturnya. Karena implikasinya bisa berimbas pada pendidikan  politik masyarakat luas.

Larangan melakukan politik uang diatur dalam Pasal 523 Undang-undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum. 

"Peserta, tim kampanye, melakukan pemberian uang atau materi lainnya kepada pemilih, baik langsung maupun tidak langsung, itu ketentuan pidananya adalah 4 tahun dan denda Rp 48 juta (Ardito Ramadhan/ Ana Shofiana Syatiri - https://megapolitan.kompas.com/ 2019)

Saat ini, ditenggarai masyararakat luas itu telah mulai membiasakan diri menggunakan aspirasi politiknya hanya semata-mata  berdasarkan pemberian materil yang diberikan kandidat yang membutuhkan dukungannya itu. No money No Vote. 

Partisipasi publik untuk iklim demokrasi yang sehat kini  kelihatannya sudah mulai memudar. Ini sangat berbahaya. Karena kekuasaan akan dipegang oleh pemilik modal terbesar, tanpa memikirkan mau diapakan kondisi negeri ini setelah pemilu selesai.

Politik transaksional biasanya menyisakan banyak kekecewaan.  Kandidat yang kalah pertarungan akan berada di posisi sebagai "orang kena tipu". My stupid boss. 

Masih dibilang beruntung kalau pun kalah dan dananya terkuras banyak tapi masih punya asset perusahaan yang masih jadi  mesin penghasilannya. 

Coba kalau dananya pas-pasan. Hanya mengandalkan harta kekakayaan tak bergerak, tanpa memiliki asset perusahaan yang sedang berjalan baik, apalagi hanya mengandalkan pinjaman sana-sini atau kekayaan hasil pendapatan selama ia menjadi pimpinan birokrasi. Maka ujung-ujungnya sering berupa kejadian tragis. 

Ada yang stress berat, terkena penyakit jantung, mati mendadak, menjadi gila, bahkan sampai ada yang bunuh diri.  Solusinya, sebaiknya pihak KPUD dan pemerintah mulai menyoroti praktek "peruncalan"  tersebut. 

Lalu dibuat perundang-undangan yang mengaturnya, sehingga ladang pilkada akan kembali berumput hijau, sesesegar hijaunya iklm demokrasi yang kita harapkan bersama.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun